Kasidi 222 Â Anti-Intelektualisme
Memang bukan karena bernomer 222 maka Kasidi yang ini mencoba membincangkan topik 'anti-intelektualisme' yang mungkin 'terasa berat tetapi sebenarnya ringan' atau jangan-jangan 'terasa ringan tapi sebenarnya berat.' Seorang esais menyatakan bahwa salah satu ciri anti-intelektualisme adalah jika seseorang merasa sudah berpikir padahal yang sedang bekerja hanyalah favoritisme, subyektisme dan pikiran-pikiran ideologis yang membeku.
Sebagai turunan dari kondisi ini tampak pada munculnya kecurigaan - juga antipati - terhadap filsafat, sains, sastra dan seni. Tentu saja perbincangan tentang anti-intelektualisme bukan perbincangan yang akan tuntas dalam satu generasi, karena faktanya dari dulu sampai sekarang tidak selesai dan mungkin memang tidak pernah selesai.
Pertanyaannya sekarang bagaimana dan di mana posisi Tuhan terhadap intelektualisme dan anti-intelektualisme? Tuhan yang kudus sekaligus jenius itu tentu saja mengatasi segalanya dan berada di atas segalanya.Â
KeberpihakanNya pada semua orang, pada keselamatan jiwa mereka menyebabkan dikotomi intelektualisme menjadi tidak terlalu penting karena pada semua orang Dia datang meskipun dari sudut pandang peradaban dan martabat manusia penghargaan terhadap filsafat, sains, sastra dan seni jelas hal yang sangat berkenan bagi Dia sebagaimana yang ditunjukkan pada semua cerita dan perumpamaan yang disampaikan pada semua orang.
Kasidi no. 222 ini jelas hanya ikut serta sedikit mendorong pintu ruang tanpa batas tempat ilmu dari langit disimpan dengan tujuan semua orang tergugah lalu ikut mendorong dan ikut masuk menikmati semua karunia pengetahuan yang disediakan Sang Mahapemberi sehingga bukan rasa percaya yang 'menjengkelkan dan picik' yang ditunjukkan melainkan iman yang sederhana tetapi elegan dengan jubah kerendahan dan kemurahan hati. Kasidi no. 222 - - tbs-22092016