Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasidi Nomor 454 - Turunkan Batasnya

27 April 2018   10:02 Diperbarui: 27 April 2018   10:10 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini mencoba makan soto kikil. Kebetulan di gang sebelah ada acara perkawinan dan lagu dangdut pop jawa yang diputar keras-keras membuat Kasidi bergoyang. Goyang bahu, goyang badan, goyang kaki, goyang kepala, diikuti goyang pikiran, goyang nurani dan goyang hati, yang dilakukan begitu saja, hampir otomatis rasanya, dan ini semua benar-benar mengusir semua sisa-sisa kepekatan hati. Hati yang sudah gembira menjadi makin riang. Wah, benar-benar luar biasa.

Kemudian Kasidi teringat pada seseorang, walau imajiner tetapi terasa begitu nyata. Namanya Mr. Brian Cassidy, salah seorang konglomerat di AS sana. Dia sedang duduk termenung. Akuntannya baru saja melapor bahwa seluruh harta kekayaannya pagi ini sekitar 13 juta dolar. Bukan jumlah yang sedikit. Sangat banyak bahkan untuk ukuran penduduk Indonesia yang mana saja. Hanya saja bagi Mr. Cassidy pagi ini, harta miliknya itu sama sekali tidak memadai. 

Bahkan dia merasa benar-benar bangkrut. Benar-benar miskin. Bagaimana tidak, tanyanya berulang dalam hati, hari ini dia harus membayar, dan benar-benar harus membayar, 40 juta dolar. Hampir tiga kali lipat dari hartanya. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Semua upaya terbaik telah dikerahkan, tetap saja dia defisit dua ratus persen lebih, tetap saja dia lebih miskin 200 persen, dan itu semua akan ditebusnya dalam penjara federal. Harta cukup banyak tetapi hutang lebih banyak, lalu apalagi namanya kalau bukan miskin dan sengsara?

Agak beda sedikit dengan Kasidi. Uang di dalam dompetnya hanya ada 150 ribu, tetapi hari ini dia hanya mempunyai kewajiban sebesar 30 ribu untuk membeli kacang tanah dan talas, untuk disumbangkan pada sahabatnya yang akan memperingati 100 hari meninggalnya mama tercinta. Memang hanya 150 ribu, tetapi mengingat kewajibannya hanya 30 ribu, Kasidi merasa bahwa hari ini dia benar-benar kaya raya karena hartanya 400 persen dari kewajibannya.

Berkaca pada dua hal ini, sebuah resep kuno teringat kembali oleh Kasidi. Turunkan batasnya dalam pikiran, rasakan leganya dalam realita. Turunkan batas harapannya, rasakan berkurangnya kekecewaan. Jika dua resep ini bisa dijalankan bersama-sama dengan pesan abadi yang disampaikan oleh Tuhan agar semua orang selalu berusaha untuk murah hati dan rendah mati, tentu banyak hal 'tidak perlu' yang membebani pikiran dan menindih jiwa, akan menghilang dan sirna dengan sendirinya.

Bukankah selama ini hampir semua beban dan permasalahan muncul karena ulah kita sendiri, ulah pikiran dan perasaan kita sendiri? Jika ulah ini tidak ada, bukankah sebagian permasalahan akan hilang dengan sendirinya? Foto dengan seorang dosen bahasa Persia dari Iran, yang dijadikan foto untuk catatan ini, ternyata hampir sama esensinya. Karena sama-sama menurunkan ambang batas keberterimaan antar sesama, maka semua perbedaan menjadi tidak bermakna apa-apa.  Kasidi nomor 454 -- SDA27042018 - 087853451949

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun