Pada tahun 2025, kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menghadapi tekanan ganda: urbanisasi yang pesat dan krisis iklim global yang semakin intens. Sebagai pusat kegiatan ekonomi, megapolitan ini menyumbang emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar dari sektor transportasi, industri, hingga limbah domestik. Di sisi lain, perubahan iklim menyebabkan cuaca ekstrem yang memperburuk kualitas udara. Di tengah ancaman ini, pemantauan polusi udara menjadi langkah kunci dalam perlindungan lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Polusi udara bukan lagi masalah yang hanya dirasakan oleh segelintir orang. Dampaknya meluas ke berbagai lapisan masyarakat---anak-anak yang menderita asma, pekerja luar ruangan yang terus terpapar polutan, hingga kerugian ekonomi dari sektor transportasi dan produktivitas kerja. Data dari Badan Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa konsentrasi PM2.5 di beberapa wilayah Jabodetabek pada 2024 melebihi ambang batas WHO hampir sepanjang tahun. Kondisi ini menjadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat.
Namun, untuk mengambil kebijakan yang tepat, kita memerlukan data yang akurat dan real-time. Di sinilah teknologi Air Quality Monitoring System (AQMS) berperan penting. AQMS adalah sistem pemantauan kualitas udara otomatis yang mengukur berbagai parameter seperti partikel debu halus (PM2.5 dan PM10), gas berbahaya seperti NO, SO, CO, dan O, serta suhu dan kelembaban udara. Dengan teknologi ini, data dikirimkan secara langsung ke pusat pengawasan tanpa jeda waktu, sehingga analisis kondisi udara bisa dilakukan dengan cepat dan tepat.
Penerapan AQMS di kawasan megapolitan menjadi langkah strategis. Misalnya, dengan memasang AQMS di titik-titik padat lalu lintas, kawasan industri, serta area pemukiman padat, pemerintah dapat mengidentifikasi sumber utama pencemaran dan mengambil tindakan yang sesuai, seperti pengaturan emisi kendaraan, relokasi industri, atau penerapan zona rendah emisi. Data dari AQMS juga menjadi dasar dalam penyusunan indeks kualitas udara (AQI) harian yang bisa diakses masyarakat, sehingga mereka bisa menyesuaikan aktivitas luar ruangan secara lebih aman.
Lebih dari itu, AQMS membuka peluang integrasi dengan sistem peringatan dini bencana iklim. Misalnya, saat konsentrasi ozon permukaan meningkat saat cuaca panas ekstrem, AQMS bisa memberikan sinyal peringatan bagi dinas kesehatan dan lingkungan untuk segera mengeluarkan imbauan keselamatan. Dengan demikian, AQMS tidak hanya berfungsi sebagai alat ukur, tetapi juga menjadi fondasi kebijakan adaptasi perubahan iklim yang berbasis data.
Langkah menuju megapolitan yang tangguh terhadap krisis iklim tidak bisa hanya mengandalkan penurunan emisi. Adaptasi dan mitigasi perlu berjalan berdampingan. Di tengah tantangan yang kompleks, teknologi seperti AQMS menjadi harapan baru. Ia menyuarakan data di balik langit kelabu kota memberi kita kesempatan untuk memahami, merespons, dan menyelamatkan masa depan udara yang kita hirup.
Sumber: