Suasana sore itu terik senja seperti biasa di Bulan Ramadan. Pasca asar, pergerakan muda-mudi dan penduduk kota mulai ramai. Mereka biasanya menghabiskan waktu ngabuburit sambil mencari sajian takjil yang dijajakan di sepanjang jalan, terutama jalan di depan Masjid Jamik Pangkalpinang.
Kondisi ini tiada beda dengan daerah lain, namun yang menjadi unik adalah berbaurnya masyarakat tionghoa non-muslim penjual takjil, dengan para pribumi muslim yang ramai memilih kudapan dan membelinya.
Sebagai pendatang, awalnya saya merasa takjub dengan fakta ini. Di tempat lain, sentimen muslim dan non-muslim biasanya cukup kental terutama mengenai makanan, tapi di sini semuanya berbaur tanpa pandang bulu.
Para penjual takjil makanan bisa berasal dari cici-cici Tionghoa dengan pakaian yang jelas bukan muslim, rutin menggelar dagangan setiap sore menjelang berbuka.
Para pembelinya pun enteng saja berpindah dari satu lapak ke lapak lain mencari apa yang mereka butuhkan dan sedang inginkan untuk dijadikan menu berbuka. Tanpa terlalu menghiraukan siapa pembelinya.
Saya merasakan, toleransi dan kehangatan berbhinneka di Bangka menjelang berbuka terwujud dengan nyata. Penduduk pribumi Melayu sebagai mayoritas muslim, bisa baik-baik saja menerima para penjual takjil yang Tionghoa Konghucu atau Kristen/Katolik yang biasanya juga memiliki anjing di rumahnya.
Hanya di sini juga saya menyaksikan khas Ramadan, masyarakat Tionghoa ikut membuka lapak takjil dadakan menyediakan pilihan berbuka di titik-titik pasar kaget menjelang magrib.
Mereka yang tidak ikut puasa, ikut menggelar dagangan dan menyediakan takjil untuk dibeli penduduk muslim yang berpuasa. Semua tampak jamak dan biasa saja di Pulau Bangka maupun Belitung.
Jika ingin merasakan dan belajar toleransi, datanglah ke Pangkalpinang terutama saat-saat Ramadan menjelang buka puasa.