Pernah nggak merasakan momen saat perasaan sedang remuk redam, tapi diminta untuk tetap semangat dan beraktivitas sebagaimana biasa?
Sebaliknya, menyuruh mereka untuk "selalu positif" tanpa mengindahkan perasaan sedih malah bakal mendorong ke fenomena yang kini disebut "toxic positivity".
Jika pernah mengalami hal tesebut, apa yang biasanya Kompasianer lakukan? Atau, secara tidak sadar justru Kompasianer yang melakukan itu pada orang lain? Silakan berbagi pengalaman terkait topik berikut dengan menambahkan label Toxic Positivity (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.