Mohon tunggu...
Tony Burhanudin
Tony Burhanudin Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Malas membaca sesat di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bolehkah Kita Lelah Menunggu?

29 Desember 2018   12:00 Diperbarui: 29 Desember 2018   12:13 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dreamstime.com

Ide tulisan ini muncul dari perbincangan kecil ketika saya hendak pulang kantor. Saya melongok ke jendela dari lantai dua untuk memantau apakah cuaca hari ini baik-baik saja---tidak turun hujan. Ini kebiasaan saya saat hendak pulang  kantor, ketika Jakarta sedang memasuki musim penghujan. Saya memandang langit menguji feeling dan insting saya untuk memprediksi apakah hujan akan segera turun atau tidak.

Tiba-tiba teman saya nyeletuk, "Siap-siap aja jas hujan mas,". Saya katakan padanya, saya sebenarnya tidak terlalu nyaman memakai jas hujan, karena terasa dingin di luar, tapi terasa gerah di dalam, efeknya sekujur badan saya terasa gatal. Walaupun sudah pakai jas hujan, kadang di tengah perjalanan saya memutuskan berhenti di halte untuk berteduh, meskipun perjalanan pulang ke rumah masih jauh.

"Saya sering berhenti di jalan meskipun sudah pakai jas hujan. Saya bukan menunggu hujan berhenti. Tapi menguji kesabaran saya, menunggu kapan hujan benar-benar  berhenti," kata saya. Teman saya menyahut, "wah puitis banget,". Perbincangan berhenti, tapi dalam hati saya berkata, saya tidak sedang berpuisi, tapi sedang menceritakan pengalaman dan kebiasaan saya.

Saya memang sering berhenti ketika berkendara sepeda motor meskipun sudah menggunakan jas hujan. Ketika saya menepi, beberapa pengendara yang sudah lebih dulu berhenti menatap saya dengan rasa sedikit aneh. Mungkin dalam hati mereka berkata, "ngapain nih orang berhenti kan udah pakai jasa ujan". Anda tahu waktu di Jakarta sangat berarti, sehingga tidak boleh membuang-buang waktu untuk hal yang tidak perlu.

Sampai saat ini, memang tidak pernah ada yang iseng menanyakan mengapa saya berhenti meski badan saya sudah dilindungi jas hujan. Dan saya pun tidak pernah pura-pura sok akrab mendatangi salah satu dari mereka seraya menjelaskan alasan saya berhenti. Menurut saya setiap orang memiliki masalah masing-masing yang tidak ada urgensinya untuk dijelaskan kepada orang banyak.

Saya berhenti biasanya karena hujan terlalu lebat, karena keesokan harinya saya tidak ingin sakit sehingga menganggu aktifitas kerja hari itu. Kesempatan berteduh biasanya saya gunakan untuk menggaruk gatal-gatal di sekujur tubuh, entah itu di lengan, ketiak, leher atau punggung. Pengendara sepeda motor pasti tahulah betapa sulitnya menggaruk anggota badan, apalagi ketika sedang menggunakan jas hujan.

Ketika berteduh, kegiatan favorit saya adalah memandang air hujan yang turun di sekitar lampu jalan. Dengan bantuan cahaya lampu jalan, saya bisa memantau apakah intensitas hujan mereda atau malah makin besar. Perpaduan cahaya lampu jalan dan liukan air hujan---jika hujan disertai angin---menciptakan pemandangan yang indah. Setidaknya itu menurut  rasa estetika saya.

Namun seingat saya, sampai saat ini saya tidak pernah tertarik mengabadikannya dalam kamera handphone lalu membagikannya ke media sosial. Karena ini hanya kegembiraan kecil di lubuk hati. Setiap kali hujan datang, dan saya merasa tidak berdaya. Sekelabat saya melesat ke masa kanak-kanak, ketika hujan menjadi teman yang bersahabat untuk bermain sepak bola. Ketika itu saya dan teman-teman tidak berharap hujan akan segera berakhir.

Tapi itu hanya hiburan sesaat. Kembali saya dihadapi pada realita, berharap hujan akan segera selesai. Meskipun saya tidak berdoa meminta hujan berhenti, karena kata para ustad hujan adalah karunia Tuhan yang tidak boleh dipersalahkan.

Seringkali saya melanjutkan perjalanan ketika masih hujan, intensitasnya berkurang  atau malah makin lebat. Karena saya tidak sabar menunggu hujan berhenti dan ingin segera tiba di rumah. Bagaimana pun rumah adalah tempat yang nyaman bagi yang sudah berkeluarga. Tidak peduli di rumah istri sedang uring-uringan karena kurang uang belanja, anak-anak nilai ujiannya jeblok, atau anak tertua akan masuk Universitas dan Anda masih belum punya kepastian dari mana biayanya.

Saya jadi berpikir, hidup manusia kebanyakan dihabiskan untuk menunggu. Sewaktu SD kita menunggu kapan waktunya masuk SMP, SMA dan seterusnya. Ketika selesai kuliah kita menunggu kapan saatnya dapat kerja, setelah itu kapan menikah, punya anak, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun