Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bercermin dari Lelucon Singkatan SD, Sekolah Dihapus atau Sekolah Duduk

23 April 2021   11:06 Diperbarui: 23 April 2021   11:24 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Andai PISA juga mensurvei siswa tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa di Perguruan Tinggi (PT), mungkin juga akan terbuka dan terbukti bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia yang sebenarnya.

Bila anak-anak mulai dari SD sudah tak dibentuk sebagai pondasi yang benar, lalu sudah terbukti di SMP sesuai survei PISA terpuruk, bagaimana dengan anak-anak yang sejak lahir hingga dewasa tak pernah mengenyam pendidikan formal? Lalu, mereka juga bergabung bersama dalam kehidupan nyata sejak anak-anak hingga menjadi orang dewasa.

Mereka pun berbaur dalam masyarakat dan lingkungan yang sama, grup-grup media sosial yang sama, grup-grup sosial yang sama meski pendidikannya berbeda dan tak sama. Pondasinya pun tak kuat. Termasuk misalnya ada dalam grup suporter sepak bola yang sama. Apa yang akhirnya terus terjadi? Tawuran siswa dan bentrok suporter pun terus terulang dan terulang. Sulit terputus mata rantainya dari setiap generasi, karena yang diwariskan justru hal-hal yang membikin mudarat dan membikin bangsa ini terus terpuruk.

Siswa yang menempuh pendidikan formal saja, masih banyak yang gagal dalam perkembangan intelektualnya, sosialnya, emosionalnya, analisisnya, kreatif-imajinatifnya, dan imannya (ISEAKI). Bagaimana dengan anak-anak hingga orang dewasa yang tak pernah tersentuh pendidikan formal?

Siswa yang tawuran atau suporter yang bentrok, semisal pemimpinnya jelas memiliki intelegensi cerdas, mampu mempengaruhi emosi anggotanya, bisa menganalisis keadaan, tentunya kreatif dan imajinatif karena bisa merancang tawuran dengan berbagai cara dan model. Tapi imannya tak kuat atau tak ada. Hasilnya, kita terus dapat menyaksikan sajian aksi mereka di Indonesia hingga sebelum pandemi corona datang karena sekolah masih tatap muka dan masih ada kompetisi sepak bola. Meski corona sudah datang, toh kita masih sering membaca dan menonton berita tentang tawuran dan korbannya.

Lebih dari itu, lihat, dalam konten yang mengungkap singkatan SD, Sekolah Dihapus atau Duduk, bagaimana jawaban orang dewasa ketika ditanya apa kepanjangan singkatan narkoba dan SPBU?

Cermati ISEAKI

Sejatinya, tanpa harus hadir corona, ISEAKI orang-orang di Indonesia mulai dari rakyat jelata hingga para pemimpin bangsa, memang perlu dicermati. Masih terlalu banyak masyarakat yang ISEAKInya terus terpuruk dibanding yang ISEAKInya berkembang.

Sayang yang memiliki ISEAKI baik dan berkembang justru banyak yang memanfaatkan masyarakat yang ISEAKInya rendah. Dan, terus tampil di panggung sandiwara berebut kekuasaan, jabatan, dan saling berkolabirasi dalam kepentingan untuk memperkuat dinasti politik, oligarki, dan terus mengantar mereka di dunia hedon, terus mengeruk keuntungan menguasai negeri demi bergelimang harta dan kekayaan di atas penderitaan rakyat.

Pandemi corona yang seharusnya menjadi kesempatan untuk semua masyarakat bangsa ini semakin memahami arti kehidupan, lalu melakukan instrospeksi, mawas diri, dan merefleksi diri, nyata tetap membuat membutakan mata dan hati hingga tetap ada korupsi.

Yang sangat memiriskan, selain kegagalan dunia pendidikan yang bertubi-tubi, ada anak usia SD tak tahu kepanjangan singkatan SD, orang dewasa tak tahu kepanjangan narkoba dan singkatan SPBU, pemilihan menteri pendidikan yang tidak tepat, mencla-menclenya kebijakan pemerintah dalam hal corona, mudik dilarang tapi ada WNA bisa masuk wilayah RI. Lalu, ada revisi larangan mudik yang ditambah harinya, karena kegagalan pendidikan selama ini, maka masyarakat pun terus jauh dari harapan nawa cita tentang lahirnya manusia Indonesia yang berkarakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun