Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Polusi Kepemimpinan Bermartabat dari Tingkat RT sampai Pemimpin Negeri

18 Februari 2021   22:42 Diperbarui: 18 Februari 2021   22:51 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ke mana implementasi dari pepatah Jawa: Madyapuro bermartabat, gemah ripah loh jinawi, makmur agawe santoso? Sampai kapan akan terus menjadi sekadar mimpi dan utopia?

Madyapuro bermartabat artinya pemimpin yang martabat, gemah ripah loh jinawi maknanya tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya sedangkan makmur agawe santoso berarti kemakmuran akan membuahkan ketentraman lahir batin dan membuat sejahtera.

Bila pepatah itu disatukan, maka sekurangnya akan dipahami bahwa pemimpin yang bermartabat akan membawa rakyatnya dalam ketentraman dan kemakmuran, sebab berada di negeri yang sangat subur tanahnya, serta membuat rakyat tentram lahir dan batin karena hidup sejahtera.

Sayang, pepatah tersebut ternyata belum dapat dibuktikan oleh pemimpin kita yang pastinya bermartabat karena dipilih oleh rakyat karena janji-janjinya. Sehingga para pemimpin yang seharusnya bermartabat, tidak menggadaikan harga dirinya, dan menjadi satria sejati, bukan satria semu.

Sungguh, kini dalam setiap detik di negeri ini, media massa hanya gencar dan heboh serta hiruk pikuk menuang dan mengangkat kisah para satria semu di parlemen, pemerintahan, dan yang melingkarinya, tak pernah beranjak dari pemberitaan beraroma kekuasaan, tahta, dan kepentingan  politik untuk kelompok dan keluarganya sendiri yang terus melenceng dari amanah di tengah hukum yang memihak, keadilan yang utopia, hingga kesejahteraan sebatas mimpi.

Siapa yang salah? Media massanya? Atau kisahnya yang memang tak lekang oleh waktu karena akan terus laku, berefek memundi rupiah. Dibanding sajikan kisah lain yang klasik dan tak memantik untung.

Jengah dan lelah menjadi saksi dari kehidupan yang melenceng ini, tak sesuai harapan. Tapi apa mau dikata, meski bisa bicara dan bersuara, tetap saja bicara dan suara itu seperti dihembus di ruang hampa. Maka, tak akan ada gelombang yang mengantar bicara dan suara itu sampai ke titik tuju.  

Mereka pun malah nampak, seperti lupa atau terlupa atau sengaja melupakan kondisi yang terjadi di masyarakat yang konsisten menjepit dan menghimpit.

Sepertinya, para satria semu itu sudah lupa atau tidak tahu atau sudah tak peduli lagi  menyoal pepatah Jawa yang bisa menjadi pondasi menuju masyarakat Indonesia tentram lahir batin dan makmur di tanah merdeka yang subur makmur karena para pemimpin yang bermartabat.

Polusi teladan buruk
Satu hal yang hingga saat ini tidak dapat dilupakan oleh rakyat adalah menyoal partai politik dan elite partai yang ibaratnya sudah dibeli oleh para taipan atau cukong demi kepentingan mereka. Menyoal ini bahkan sudah dibocorkan oleh pemimpin parlemen Republik Indonesia yang sudah terpublikasi di berbagai media.

Tidak bertepuk sebelah tangan, salah satu menteri kabinet sekarang pun terang-terangan menyebut dalam Pilkada 2020, para calon kepala daerah di seluruh Indonesia dalam proses Pilkada, lebih dari 93 persen dibiayai oleh cukong. Apa yang diungkap juga sudah terpublikasi di berbagai media massa, dan saya juga mengulasnya dalam beberapa artikel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun