Miris, kini di media sosial ramai tersebar informasi yang berisi narasi, bila saya simpulkan isinya demikian. "Bicara di forum, mikrofon dimatikan." Mau bicara di depan dewan dan pemilik kebijakan, dihadang pihak keamanan dan dibenturkan." "Bicara di medsos kena UU ITE." Padahal, cuma mau bicara dan menyampaikan aspirasi. Bila tidak ada hal yang disembunyikan dan ditutupi, mangapa semua jalur untuk "bersuara" yang dijamin oleh UU, harus dicegah dan dibungkam?
Bila semua yang dibuat oleh parlemen dan pemerintah sebagai wakil rakyat maksudnya benar, baik, demi kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat, mengapa sampai harus terjadi bentrok dan anarki dalam demonstrasi yang sejatinya secara logis dapat ditelusuri, siapa pembikin skenario dan dalang dari rusuh dan anarki itu, yang bisa jadi pembuatnya adalah dari pihak rezim atau opisisi atau pihak lain yang sengaja mengadu domba.
Jadi, rusuh dan anarki yang terjadi dalam demonstrasi, tentu kemungkinannya dilakukan oleh 3 kelompok, yaitu rezim, oposisi, dan pihak ketiga. Dan, siapa pelaku aslinya, bisa dicerna dengan akal sehat. Rakyat pun cerdas serta dapat membaca dramatisasi di balik aktor anarko yang memerankan fungsi dan tugasnya sesuai skenario dan penyutradaraan.
Anehnya lagi, bila segala sesuatu dalam UU dan kebijakan yang dibuat oleh parlemen dan pemerintah sesuai dengan amanah dan aspirasi rakyat, benar dan baik sesuai tujuan, tentu tak akan ada aksi-aksi demonstrasi.
Harus dicatat dan diingat, semua UU dan kebijakan, seharusnya bila benar demi dan untuk rakyat, maka bila ada keluhan dan rakyat keberatan atas kebijakan dan UU yang dibuat, maka sebagai negara demokrasi, praktik demokrasi yang benar, maka wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat wajib berpihak kepada rakyat.
Lihat di berbagai negara belahan dunia ini, demonstrasi rata-rata dilakukan oleh mahasiswa. Begitu pun di Indonesia, yang kini sudah mulai terbudaya, pelajar ikut demonstrasi. Mengapa dan apa alasannya?
Sebab, UU dan kebijakan yang dibuat tentu akan sangat berpengaruh kepada para mahasiswa dan pelajar, karena pada saatnya para mahasiswa dan pelajar ini adalah penerus perjuangan bangsa. Sehingga, sebagai penerus perjuangan bangsa dan pelaku yang akan membawa bangsa Indonesia di masa depan, tentu wajib terus mengawal segala bentuk UU dan kebijakan yang dapat merugikan mereka di masa depan. Baik untuk para mahasiswa dan pelajar itu sendiri sebagai warga negara, maupun sebagai calon pemimpin-pemimpin bangsa.
Jadi wajar, bila mahasiswa dan pelajar turut menyuarakan aspirasinya dalam berbagai hal yang dirasakan ada ketidakbenaran dan ketidakadilan dan mereka juga tahu, bila menempuh jalur hukum akan dikalahkan.
Akhirnya, para mahasiswa dan pelajar ini sampai turun demonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Sebab, pada saatnya, mereka yang akan menjadi pelaku sebagai pekerja/buruh. Pada saatnya mereka akan menjadi pelaku yang menjaga keutuhan NKRI agar tetap gemah ripah loh jinawi. Sawah, ladang, hutan, gunung, dan lautan tetap terjaga menjadi milik Ibu Pertiwi, bukan dijarah dan dikuasai oleh Aseng dan Asing.
Tapi apa yang kini terjadi di NKRI, mahasiswa dan pelajar pun sudah ditekan dengan berbagai suara agar diam dan bungkam. Ada apa coba di balik ini semua?
Malah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Dirjen Pendidikan Tinggi mengeluarkan imbauan agar mahasiswa tidak ikut dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja dalam surat bernomor 1035/E/KM/2020 tentang pembelajaran daring dan sosialisasi UU Cipta Kerja yang diteken Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, yang terpublikasi di media massa nasional, Sabtu (10/10/2020), agar dosen melaksanakan pembelajaran daring dan memantau kehadiran serta meningkatkan interaksi pembelajaran mahasiswa secara daring serta meminta mahasiswa tidak ikut dalam aksi unjuk rasa dalam penolakan UU Cipta Kerja.