Mohon tunggu...
Toni Pamabakng
Toni Pamabakng Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Sosial, Hukum dan Pemerintahan

Tenang, Optimis, Nasionalis dan Idealis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengkritisi Putusan Yang Mulia MKD

17 Desember 2015   12:48 Diperbarui: 17 Desember 2015   13:53 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Foto: Kompas.com

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan menutup kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla setelah menerima surat pengunduran diri Setya Novanto sebagai Ketua DPR.
MKD menerima pengunduran itu dan menyatakan Novanto berhenti sebagai Ketua DPR per 16 Desember 2015.
Hanya dua amar putusan tersebut yang dibacakan Ketua MKD Surahman Hidayat di ruang sidang MKD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (16/12/2015) malam.
Jadi, Novanto terbukti melanggar kode etik atau tidak? Kompas menuliskan sebagai berikut:
"Enggak ada (keputusan bersalah atau tidak). Jadi, kita tadi memutuskan menerima pengunduran diri Pak Setya Novanto. Itu saja keputusannya, clear," kata Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad seusai sidang pembacaan putusan.
Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2015/12/17/102444/Mundur.sebagai.Ketua.DPR.Novanto.Langgar.Kode.Etik.atau.Tidak.

Selanjutnya Kompas juga menulis:
Politisi PDI Perjuangan, TB Hasanuddin, mengkritik putusan Mahkamah Kehormatan Dewan dalam kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto.
Menurut Hasanuddin, putusan MKD tidak jelas karena tidak menyatakan apakah Setya Novanto melakukan pelanggaran kode etik atau tidak.
"Putusan MKD ini alpa. Dia tidak membuat sebuah keputusan final. MKD harusnya membuat punishment seperti apa," kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2015). Sumber:http://nasional.kompas.com/read/2015/12/17/11064151/MKD.Dianggap.Lalai.karena.Tak.Putuskan.Pelanggaran.Etika.Novanto.

Dengan konstruksi “putusan” seperti ini, maka Setya Novanto tetaplah seseorang anggota DPR “Yang Terhormat” dan “Yang Mulia”, bukan seseorang anggota DPR “Yang Tercela” karena melanggar Kode Etik. Lengsernya Setya Novanto sebagai Ketua DPR bukanlah diberhentikan sebagai akibat putusan MKD, melainkan semata-mata akibat surat pengunduran dirinya sendiri. Lebih aneh lagi, MKD menyatakan menerima surat pengunduran diri tersebut, padahal yang memiliki kewenangan memutuskan hal tersebut adalah Sidang Paripurna DPR.

Membaca “keputusan” di atas saya langsung geleng-geleng kepala. Sebagai seorang yang pernah belajar sedikit ilmu hukum, walaupun tentu saja tidak sehebat ahli hukum tata negara idola saya Prof. Refly Harun hehehe…., saya berani mengatakan bahwa keputusan tersebut cacat hukum. Bagaimana mungkin Majelis Yang Mulia MKD tidak memahami “Hukum Acara” yang dibuat mereka sendiri? Dengan putusan seperti itu, berarti MKD sama sekali tidak memproses pengaduan yang telah disampaikan oleh Pengadu kepada Setya Novanto sebagai Teradu (dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR), dan dengan konyolnya menghentikan begitu saja proses persidangan MKD tanpa berdasarkan pertimbangan yuridis yang kuat. Persidangan-persidangan yang telah dilaksanakan seperti tidak ada artinya sama sekali, fakta-fakta yang terungkap dan pendapat hukum Majelis MKD sendiri yang secara tegas menyatakan adanya pelanggaran kode etik, menjadi sia-sia.

Pasal 9 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI mengatur bahwa pengaduan pelanggaran terhadap Anggota tidak dapat diproses jika Teradu: meninggal dunia, TELAH MENGUNDURKAN DIRI atau telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik. Berdasarkan landasan yuridis ini, salah satu alasan MKD tidak melanjutkan proses persidangan MKD terhadap seorang Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran kode etik adalah TELAH MENGUNDURKAN DIRI. Yang dimaksud dengan TELAH MENGUNDURKAN DIRI dalam pasal ini adalah MENGUNDURKAN DIRI SEBAGAI ANGGOTA DPR. Faktanya, Setya Novanto hanya mengajukan surat pengunduran diri SEBAGAI KETUA DPR, bukan mengundurkan diri SEBAGAI ANGGOTA DPR. Yang bersangkutan masih berstatus sebagai Anggota DPR sehingga seharusnya tetap dilanjutkan proses persidangannya sampai dikeluarkannya putusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, saya berpendapat, putusan MKD yang menghentikan seluruh proses persidangan MKD terhadap Setya Novanto adalah CACAT HUKUM karena bertentangan dengan Pasal 9 dimaksud.

Adalah sangat aneh, seseorang yang secara tegas telah dinyatakan oleh Majelis Yang Mulia MKD melanggar kode etik dengan kualifikasi pelanggaran SEDANG, justru saat ini statusnya baik-baik saja tanpa cela, bahkan dianggap hebat dan berjiwa besar karena berani mundur dari jabatan empuknya demi kemajuan bangsa dan negara ke depan. Mestinya menurut saya, lebih MULIA jika Majelis MKD tetap melanjutkan proses dan menjatuhkan putusan serta menyatakan Teradu TERBUKTI MELANGGAR KODE ETIK. Adapun surat pengunduran diri Teradu seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima oleh MKD karena disampaikan pada saat yang bersamaan dengan sidang putusan, apalagi surat pengunduran diri tersebut belum disampaikan dalam Sidang Paripurna DPR. Hasil akhirnya memang sama, yaitu Setya Novanto akan diberhentikan sebagai Ketua DPR, tapi status etiknya akan sangat berbeda jika saja dia tetap diproses.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun