Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

JKN: Persepsi, Regulasi dan Implementasi

16 Februari 2016   07:33 Diperbarui: 16 Februari 2016   07:49 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption=""Sindrom JKN""][/caption]

Mengikuti dinamika berjalannya 2 tahun JKN, memberi satu pengalaman berharga tentang lingkaran: persepsi, regulasi dan implementasi. Sebelum 1 Januari 2014, banyak disiarkan iklan layanan masyarakat. Sayangnya, yang terbaca bukan “JKN”, tetapi “BPJS”. Akibatnya persepsi yang kuat terekam adalah BPJS. Bahkan banyak yang tidak menyadari bahwa ada 2 BPJS: Kesehatan dan Ketenagakerjaan.

Disebut-sebut dalam iklan itu soal jaminan kesehatan, yang kemudian menyeret ke persepsi berikutnya: kesehatan gratis. Hal itu dilatarbelakangi maraknya kampanye-kampanye di pilkada yang menawarkan “kesehatan gratis”. Jadilah persepsi  kuat menjelang JKN 1 Januari 2014 adalah: BPJS memberikan layanan kesehatan gratis.

Saat itu, hampir tidak ada yang menjelaskan apalagi mendiskusikan soal regulasi. Satu sisi karena terus terang, regulasi itu sendiri harus diakui sangat terlambat terbit. Bahkan baru dalam hitungan hari menjelang dimulai, regulasi yang bersifat petunjuk pelaksanaan secara teknis, boleh dikatakan baru “sedikit lebih baik daripada belum ada sama sekali’.

Jadilah kemudian JKN mulai diimplementasikan berangkat dari persepsi yang “salah kaprah” berbasis regulasi yang belum lengkap.  Terbukti baru dua pekan berjalan, sudah terbit regulasi yang berusaha melengkapi. Demikian dinamika regulasi itu terus berulang. Sekarang baru penulis mendapat penjelasan bahwa memang sejak awal disadari: kita belum punya pengalaman, tapi harus tetap dimulai, maka memang harus diterima regulasinya akan terus direvisi.

Selama tahun pertama, ternyata lingkaran persepsi-regulasi-implementasi itu masih terus berputar. Peserta mudah marah karena: kok tidak sesuai persepsi yang katanya “gratis”. Akibatnya mudah menuding: Dokter dan RS tidak mau rugi.  Sisi lain, kalangan penyedia layanan mengeluhkan: gara-gara BPJS kita jadi repot, jangan salahkan kami, ini salahnya BPJS. Masih meyebut “BPJS” karena persepsi yang salah kaprah sejak awal. Sisi lain lagi, teman-teman BPJS Kesehatan juga memendam rasa kesal: Kita sendiri dibuat susah karena sistem berubah, sementara Dokter dan Faskes belum sadar kalau harus berubah, akhirnya kita juga yang kena getah.

Bulan berganti bulan, sebagian peserta mulai sadar bahwa ada kelompok yang harus membayar. Muncul kemudian keluhan: kita ini bayar ya, jangan dianggap gratis, jadi dokter dan RS harus melayani sebaik-baiknya. Kalangan dokter dan RS gantian kesal: bayar cuman segitu saja kok minta yang bermutu, kami juga hanya dibayar seperti tukang sapu. Teman-teman BPJSK menyahut: repotnya tetap di kami, mau gimana lagi, nggak boleh mengeluh di publik, padahal dananya seret terancam defisit.

Bulan kembali berganti. Peserta mulai ada yang “pintar”: baru mau mendaftar ketika tahu harus siap uang besar untuk membayar pengobatan.  Dokter dan RS galau: bagaimana bisa kami bertahan kalau begini terus, BPJS terlalu banyak bikin aturan, sudah kalau begitu suruh saja BPJS bangun faskes sendiri, bayar dokter sendiri sana. Sementara teman-teman BPJSK masih terus menahan kesal: terpaksa kami ambil sikap dengan masa tenggang, daripada JKN harus tumbang, karena dana tidak imbang.

Begitulah….

Masuk tahun kedua, suasana sedikit lebih tenang. Regulasi tidak lagi direvisi sedinamis tahun pertama. Tapi “hantu baru” mulai merasuki: potensi fraud.  BPJSK didera target “tidak boleh defisit lebih dari prediksi”. Proses verifikasi banyak diwarnai perbedaan definisi, walau sudah disusun SE Menkes berisi solusi. Peserta mulai lebih menata diri. Diantara sesama peserta mulai bisa saling memberi informasi dan berbagi solusi.

Tetapi salah persepsi masih tetap berlanjut. Tudingan ke BPJSK masih terus bertubi-tubi, karena masih terbelenggu pada persepsi: ini salahnya BPJS, sudah tinggalkan saja, biar mereka melayani sendiri, daripada ribut soal verifikasi dan norma kapitasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun