Mohon tunggu...
TOMY PERUCHO
TOMY PERUCHO Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Perbankan, berkeluarga dan memiliki 2 orang anak.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Agama : Islam. Pengalaman kerja : 1994-2020 di Perbankan. Aktif menulis di dalam perusahaan dan aktif mengajar (trainer di internal perusahaan) dan di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pujian, Madu atau Racun?

18 Juni 2020   13:44 Diperbarui: 18 Juni 2020   13:43 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi senang mendapat pujian. (sumber: shutterstock via kompas.com)

"Love, Like, Comment, Wah hebat sekali, luar biasa, super sekali dan sebagainya... 

Tidak dipungkiri setiap orang senang dipuji. Pujian bisa berarti apresiasi atau penghargaan, bisa juga pengakuan, atau kekaguman. Pada takaran yang tepat dan disampaikan pada frekuensi, waktu, tempat dan cara yang tepat, sebuah pujian bisa menjadi motivasi yang dapat menimbulkan semangat bagi yang menerimanya. 

Namun sebaliknya, apabila pujian disampaikan secara berlebihan, maka bagi orang-orang yang mawas diri akan menjadi "aneh" mengapa orang lain memujinya demikian sering dan terkesan berlebihan padahal apa yang dilakukan bukan hal yang luar biasa bahkan biasa-biasa saja yang juga dilakukan orang lain ... 

Bagi orang yang haus pujian, ia berupaya untuk melakukan hal-hal dimana ia berharap pujian megalir kepadanya. Baginya pujian bagaikan madu. 

Si haus pujian biasanya menjadi mudah "melayang" dan "tersanjung" namun sayangnya mudah tertipu, kecewa dan tersandung... karena kurang mawas diri. Sayangnya, di balik pujian-pujian yang ia terima tersebut sekedar lip service saja, sekedar untuk menyenangkan atau bisa juga karena maksud dan tujuan tertentu. 

Agar tidak mudah jatuh karena pujian, maka hendaknya kita lebih berhati-hati dan mawas diri. Mengapa demikian? Ya, karena pujian bisa menjadi akar kesombongan dan kesombongan merupakan akar dari kehancuran diri kita. 

Konon ada ungkapan bahwa apabila seseorang merasa dirinya kurang diperhatikan, maka ia akan melakukan hal2 yang dapat mengundang perhatian orang agar ia selalu diperhatikan. 

Andai saja kita mau merenung, orang lain akan memperhatikan, menghargai dan menghormati kita bukan karena mahal dan indahnya pakaian atau kendaraan yang kita kenakan, harta yang banyak, jabatan dan kedudukan yang tinggi, ilmu yang tinggi, badan yang kuat, wajah yang rupawan dan lain sebagainyal. 

Tetapi kunci dari semuanya terletak pada keindahan Akhlak dan Budi Pekerti kita yang baik. Orang berakhlak budi pekerti yang baik tidak mudah hanyut dan larut apalagi melayang karena pujian. 

Semakin dipuji, ia semakin mawas diri dan bukan sebaliknya. Demikian pula ketika ia memuji orang lain, pujian yang disampaikannya tulus dari hati tanpa tujuan dan pamrih tertentu. Semuanya diterima dan ditanggapi secara biasa dan wajar saja, tidak berlebihan. 

Mari kita bijak dalam memuji dan menerima pujian dari orang lain, lakukan dan respons lah secara tulus dan wajar agar berdampak positif bagi yang menyampaikan dan menerimanya...  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun