Mohon tunggu...
Tommy Jomecho
Tommy Jomecho Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi. Desainer. Penulis. Gamer.

Manusia, dosa dan hijrah. Tempatnya salah, tempatnya dosa. Mencoba berbenah, mencoba berubah. Bisa! Allahuakbar!

Selanjutnya

Tutup

Money

Pro dan Kontra Daya Beli

6 November 2017   16:28 Diperbarui: 30 November 2017   21:51 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dok.pribadi

Isu lesunya daya beli kembali mencuat menyusul rendahnya angka inflasi nasional beberapa waktu terakhir. Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam kultwit-nya sekira mengatakan, "Inflasi rendah merupakan tanda penurunan daya beli".

Betulkah inflasi rendah atau deflasi menjadi penanda melemahnya daya beli?

Menurut BPS, inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus. Ada dua penyebab utama inflasi. Pertama, kelebihan permintaan sementara produksi relatif stabil. Kedua, meningkatnya ongkos produksi yang mendorong produsen menjual barangnya lebih mahal.

Perdebatan soal daya beli yang dikaitkan dengan rendahnya inflasi serta melambatnya pertumbuhan ekonomi kelihatannya belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Seperti biasa, akan selalu ada dua poros berbeda dalam setiap perdebatan. Pihak pertama, mereka yang meyakini rendahnya inflasi dikarenakan permintaan agregat yang menurun. Pihak lain adalah yang mengatakan bahwa rendahnya inflasi karena keberhasilan upaya dalam pengendalian harga.

Yang pasti bahwa corak analisa terhadap indikator strategis tersebut bergantung dengan latar belakang serta kepentingan penganalisis. Seorang Fadli Zon merupakan politikus oposisi. Tidak mengherankan jika ia menyimpulkan bahwa rendahnya inflasi menunjukkan adanya penurunan daya beli. Bahkan, jika kondisi tersebut dibiarkan, pria kelahiran 46 tahun silam ini meyakini dapat berujung depresi. Sebuah ramalan yang mungkin terlalu berlebihan. Kendati seorang politikus, dasar ilmu ekonominya sepertinya tak dapat dianggap biasa. Beliau seorang doktor dan master studi pembangunan pada London School of Economics and Political Science.

Bagi politikus Gerindra ini, pemerintah dinilai telah membuat masyarakat hidup serba kesulitan dengan dicabutnya subsidi beberapa kebutuhan vital. Merangkaknya harga BBM, hilangnya subsidi listrik, ditambah kelangkaan bahan bakar gas, membuat ekonomi masyarakat menengah bawah semakin terhimpit.

Pria kelahiran Jakarta ini juga menyoal kebijakan infrastruktur padat modal dan high-teck di tengah kondisi keuangan yang sejatinya tak mendukung. Kebijakan tersebut dinilai tak berdampak nyata terhadap perbaikan pendapatan masyarakat. Tak banyak tenaga kerja lokal terserap, kecuali menyisakan utang negara yang kian bertambah. Alhasil, dengan pendapatan relatif sama sementara biaya hidup membumbung tinggi, memaksa masyarakat mengatur ulang keuangannya dengan menekan konsumsi barang lainnya. Pada akhirnya, terjadilah penurunan permintaan agregat yang memicu inflasi rendah. Tumbangnya beberapa ritel dan sepinya pengunjung mall seakan menguatkan dugaan tersebut.

Lain pula kubu pemerintah dan simpatisannya. Mereka berdalih bahwa inflasi rendah sebagai buah keberhasilan pengendalian harga komoditas. Alasan berikutnya karena terjadi perubahan belanja dari sebelumnya konvensional menjadi online. Meski volume belanja online ditengarai tak lebih dari 2 persen. Hal lain adanya shifting pola konsumsi masyarakat kelas menengah atas. Pemerintah meyakini telah terjadi pergeseran pola belanja dari yang sebelumnya belanja barang berubah ke arah leisure (bersenang-senang). Singkatnya, kubu ini tak cukup meyakini atau justru terlalu angkuh untuk membenarkan adanya penurunan daya beli.

Selain perbedaan latar belakang dan kepentingan, posisi sudut pandang (angle) pun tak sama. Waka DPR dan kelompok yang sependapat dengannya mengambil sudut pandang kalangan bawah. Sementara itu, kubu pemerintah lebih memandang persoalan tersebut dari sudut kelas menengah atas. Bagaimana tidak, mereka berbicara belanja online dan shifting pola konsumsi ke arah leisure. Sesuatu yang mungkin cukup jauh dari jangkauan kalangan bawah. Meski begitu, keduanya punya persamaan, yakni sama-sama atas nama rakyat.

Dua kubu dengan dua analisis yang berbeda. Semacam sebuah perang, ada yang attack lalu yang lain defense. Sesuatu yang jamak terjadi. Kita pun tak dapat serta merta mengatakan yang satu benar dan yang lain salah. Dalam mengutarakan pendapatnya, kedua kubu tentu menggunakan data pendukungnya masing-masing.

Jika boleh jujur, secara tak langsung pemerintah sejatinya menyadari adanya penurunan daya beli. Hanya saja bahasanya dikemas sedemikian rupa, misal menggunakan kata-kata "relatif stabil", "tidak turun" atau "sedikit saja". Prilaku wajar dan dapat dipahami. Kita hanya berharap kondisi ini sementara dan bukan pertanda awal depresi. Kita pun menunggu langkah-langkah konkrit pemerintah untuk mengatasi persoalaan ini. Terakhir, kita mendengar adanya wacana padat karya cash untuk mengatasi kelesuan daya beli. Semoga langkah tersebut telah melalui kajian mendalam sehingga mampu menjadi solusi permanen. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun