Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kita Memilih atau Dipilih Perusahaan?

15 Mei 2020   18:00 Diperbarui: 16 Mei 2020   10:26 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pencari kerja | Photo by Saulo Mohana on Unsplash (unsplash.com/@saulomohana)

Saat mengikuti sebuah training di sebuah perusahaan saya cukup kaget karena diberlakukannya sistem gugur. Jadi setiap minggu ada dua sampai tiga orang yang harus dieliminasi. Sudah kayak Indonesian Idol saja pokoknya. Karena dipikiran saya, kalau sudah training artinya sudah diterima bekerja, training hanyalah aktivitas pelatihan sebelum diterjunkan kerja ke lapangan.

Ternyata kekagetan saya terjawab saat beberapa waktu kemudian salah seorang petinggi perusahaan berkata bahwa ini adalah pola baru yang coba diterapkan perusahaan dalam merekrut pegawainya. Alasannya agar para peserta sungguh-sungguh mengikuti training dan punya rasa bangga saat akhirnya berhasil lolos sampai tahap akhir.

Perusahaan itu seperti ingin mencitrakan diri bahwa untuk kerja kesana itu tidak gampang, karena buktinya ada yang harus tersisih. Maka kami yang lolos haruslah bangga akan pencapaian tersebut.

Namun beberapa bulan kemudian gejolak mulai muncul pada batch kami yang kurang lebih berjumlah delapan puluh orang itu. Hal ini dimulai dari gaji yang kami terima tak sesuai dengan penjelasan saat offering.

Namanya juga urusan duit, mustahil tak menimbulkan gejolak. Semua orang ribut di grup whatsapp, hingga akhirnya gelombang protes difasilitasi juga untuk dialog dengan pimpinan perusahaan. Ternyata hasilnya, ada kekeliruan yang dilakukan tim rekrutmen ketika menjelaskan soal gaji saat offering.

Apa boleh buat, kami yang hanya anak baru di perusahaan tersebut hanya bisa menerima dengan lapang dada. Sebenarnya saya tahu bahwa semuanya juga ingin protes keras, tapi melakukan protes terlalu keras tak akan membuat kekurangan gaji versi kami dibayarkan. Yang ada kami akan dipecat hari itu juga. Minimal ditandai untuk tidak diperpanjang masa kerjanya bulan depan.

Dari segi posisi memang karyawan itu lemah. Namun jika kita baru melamar pekerjaan, posisi pencari kerja biasanya tak melulu lemah. Misalnya saat tahap interview pihak perusahaan menawari gaji sekian, kita sebagai pelamar punya hak untuk menolak atau menerima, karena kita punya nilai tawar.

Tapi tentu kebanyakan pencari kerjalah yang benar-benar butuh pekerjaan, sehingga bisa diterima kerja juga sudah sangat bersyukur. Itu kenapa atasan saya dulu pernah bilang, jangan resign sebelum mendapatkan kerja yang baru.

Alasannya bukan soal nanti takut tidak dapat kerja lagi atau tidak, tapi kalau kita masih punya pekerjaan kita bisa minta gaji yang lebih besar dari gaji tempat kita bekerja saat ini. Kalau diterima ya syukur enggak juga nggak apa-apa. Kan tujuan pindah kerja itu mencari yang lebih baik.

Kembali ke cerita saya di atas. Jika di awal bulan yang muncul adalah gejolak soal gaji, beberapa bulan kemudian petinggi perusahaan mulai murka karena rendahnya pencapaian dan target tak tercapai.

Mulai muncul umpatan-umpatan yang kurang lebih bermakna, "Kalau tidak kontribusi mending resign saja, buat apa digaji..." dan seterusnya. Ungkapan ini pun banyak menyakiti hati orang-orang di bawah, kalau saya sendiri sih saya anggap radio rusak. Selama orang itu tidak berbicara secara pribadi dengan saya, saya tak akan sakit hati.Sekalipun ditujukan untuk umum, tapi faktanya tidak semua orang bisa menerima.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun