Mohon tunggu...
Toekang Tjoekoer
Toekang Tjoekoer Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Pena

... dibawah puun sengon pinggir kali tjiliwoeng ...

Selanjutnya

Tutup

Money

Dibalik Anjloknya Keuangan Garuda Indonesia yang Merugi

15 September 2017   19:54 Diperbarui: 15 September 2017   19:59 2683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) sepanjang semester pertama 2017 mengalami rugi bersih hampir 283,8 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,77 triliun. Kerugian ini naik secara drastis 349 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang senilai 63,2 juta dolar AS. Kerugian tersebut seperti mengulang apa yang terjadi pada tahun 2016 silam. Walau dikatakan tidak merugi namun keuangan maskapai pelat merah ini hanya menghasilkan laba bersih 8,06 juta dollar AS sepanjang 2016 lalu. 

Ditahun tersebut pencapaian Garuda Indonesia tidaklah merupakan sebuah prestasi, dikarenakan laba bersih tersebut menukik tajam 89,42 persen dibandingkan pencapaiannya di tahun 2015 yang sebesar 76,48 juta dolar AS. 

Anjloknya laba bersih Garuda Indonesia telah lama terjadi setiap tahunnya, menurut laporan keuangan maret 2015, sepanjang tahun 2014 maskapai Garuda mencatatkan rugi bersih yang cukup besar berkisar 371,97 juta dolar AS, padahal pada tahun 2013 Garuda Indonesia mencatatkan laba bersih 13,58 juta dolar AS. 

Dibalik anjloknya keuangan PT Garuda tiap tahun sejak periode 2014 hingga saat ini salah satu faktor penyebabnya adalah kinerja yang buruk dan banyaknya kebijakan yang tidak tepat pada maskapai pemerintah tersebut. Kebijakan pada masa lalu dalam pembelian pesawat baru juga menjadi penyebab anjloknya keuangan Garuda. 

PT Garuda Indonesia pada Juni tahun 2015 melakukan pemesanan pesawat untuk memperkuat armadanya. Jumlahnya pun cukup fantastis yakni total memesan 90 pesawat.  Nilai pesanannya mencapai 20 miliar dollar AS atau sekitar Rp 266 triliun . Angka ini merupakan rekor pembelian pesawat terbesar oleh Garuda. 

Adapun rinciannya, 60 unit pesawat baru dari Boeing senilai 10,9 miliar dollar AS terdiri 30 unit B787-900 Dreamliners (7,7 miliar dollar AS) dan B373 MAX 8 (3,2 miliar dollar AS). Kemudian 30 unit pesawat baru A350 XWB dari Airbus senilai 9 miliar dollar AS. 

Padahal pada Oktober 2014 Garuda juga telah melakukan pemesanan 50 pesawat berbadan sedang B373 MAX 8 dimana rencananya akan digunakan untuk mengganti pesawat B737-800NG yang sudah berakhir masa sewanya. 

Kebijakan pembelian pesawat baru yang sangat kontroversial inilah yang memungkinkan terjadinya fluktuasi dan anjloknya keuangan yang ada di PT Garuda Indonesia, apalagi seiring silih bergantinya pimpinan tinggi perusahaan ini, para komisaris dan manajemen Garuda Indonesia tidak berani menyatakan fakta yang sebenarnya dan terkesan menutupi adanya kepentingan-kepentingan pribadi dibalik proses pembelian pesawat baru ini. 

Apalagi selama proses dibalik pemesanan pesawat baru Garuda cenderung tertutup dan terindikasi sarat dengan aroma korupsi dan kolusi sehingga akibatnya Garuda Indonesia dikubangi utang besar triliunan rupiah. Bahkan KPK saat ini tengah mendalami kasus dugaan suap pengadaan mesin Pesawat Airbus A330-300, milik PT Garuda Indonesia yang diproduksi perusahaan mesin raksasa, Rolls Royce yang melibatkan mantan Dirut Garuda Emirsyah Satar. 

Lolosnya proyek kontroversial pembelian pesawat baru oleh PT Garuda Indonesia (Tbk) dinilai tak lepas dari kesalahan DPR yang dianggap telah gagal memahami fungsinya karena turut meloloskan proyek tersebut. Jika saja DPR khususnya Komisi V dan Komis VI dapat memahami fungsinya sebagai lembaga pengawas pemerintah maka hal tersebut tidak akan terjadi. Terlebih dengan lolosnya proyek tersebut tidak saja merupakan kesalahan mendasar bagi DPR namun bisa dikategorikan sebagai pembiaran terhadap adanya potensi kerugian keuangan negara dan pembangkrutan maskapai Garuda Indonesia. 

Hal serupa pernah terjadi pada awal 2012 silam, dimana modus yang sama pernah dilakukan kepada Merpati Nusantara Airlines, yang saat itu dipaksa membeli 40 unit pesawat jenis Jet 100 seater ARJ 21-700 dari Commercial Aircraft Corporation of China, Ltd (COMAC). Sejak itu, Merpati ambruk dan tak bisa mengudara lagi akibat terjerat hutang luar negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun