Syukurlah Tidak Pernah Mendapatkan Komentar Semacam ini
Setiap bulan Ramadhan, dalam hati kecil saya jadi ingat kenangan indah tempo dulu di Kampung Halaman saya di Padang kota tercinta. Terlahir dalam keluarga non Muslim, sama sekali tidak ada masalah karena sejak dari lahir, kami sudah hidup membaur, bahkan dalam keluarga besar kami terdiri dari berbagai  suku dan perbedaan agama.
Setiap kali menyambut datangnya bulan puasa, tak sedencing pun ada kehebohan tentang masalah warung buka atau tidak . Karena masyarakatnya sudah membaur dan saling menghormati. Dalam kehidupan sehari harian, kami menggunakan bahasa Padang. Bahkan dalam keluarga besar kami. sebagian beragama Islam, katholik, kristen dan budha. Jadi secara alami, sudah terjalin saling menghargai. Tak perlu lagi ada perda perdaaan yang mengatur kehidupan warga di Padang, dalam menyongsong bulan suci Ramadhan.
Setiap bulan puasa, rumah makan dan restoran pagi sore yang terkenal di pondok, selalu mengunakan kain penutup Pemiliknya orang Tionghoa, tapi sudah sejak dulu Haji.
Masakan yang tadinya dipajang secara terbuka di belakang kaca yang transparan pada bulan puasa, tak lagi tampak dari luar. Yang berpuasa tetap menjalankan ibadahnya, sedangkan yang tidak berpuasa, tetap bisa menikmati makan siangnya, tanpa terganggu. Tidak pernah ada yang mempermasalahkan. Tapi lain Bengkulu lain pula Semarang Lain kisah dahulu  konon lain pula kisah sekarang.
Kembali ke judul
Seperti yang sudah pernah saya tuliskan, setiap bulan Ramadhan, di rumah kami setiap hari Sabtu selalu ramai dengan teman teman yang beragama Islam untuk "babuko basamo". Tidak ada keraguan setitik pun terhadap masakan yang dipersiapkan oleh isteri saya dan dibantu oleh beberapa orang tetangga kami. Karena mereka yakin, kami tidak pernah memasak daging babi di rumah. Kalau kami pingin makan Shio Bak atau babi panggang, ke rumah makan di pondok.Â
Selama bertahun-tahun tradisi Babuko Basamo yang kami jalani tak pernah terputus
Sedemikian akrabnya hubungan kekeluargaan antara kami yang non Muslim dengan tetangga dan kawan-kawan yang beragama Islam sehingga ketika kami pamitan pindah ke Jakarta semuanya memeluk kami dengan menangis.
Kini semuanya hanya tinggal kenangan indah bagi kami berdua. Karena itu bila saya sampaikan, " Kangen Ramadan di Kampuang Halaman" sungguh keluar dari lubuk hati terdalam. Merindukan sesuatu yang sudah tidak mungkin lagi bisa terulang. Tapi kerinduan hati tidak dapat ditutupi,walaupun sekedar dalam ungkapan melalui tulisan ini. Â
Belakangan ini,kerinduan hati untuk santap bersama teman teman,kami alihkan dengan mengundang kawan kawan untuk makan bersama di rumah makan Padang,setiap kali kami berkesempatan pulang kampung. Jadi ingat lagu:"Takana jo Kampuang nan Jauah di mato"
Selamat menunaikan Ibadah PuasaÂ
Tjiptadinata EffendiÂ