Mohon tunggu...
TJIPTADINATA EFFENDI
TJIPTADINATA EFFENDI Mohon Tunggu... Konsultan - Kompasianer of the Year 2014

Lahir di Padang,21 Mei 1943

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Memilih Jalan Hidup, Mengikuti Arus atau Melawan Arus?

8 Februari 2017   06:40 Diperbarui: 8 Februari 2017   12:49 13331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hidup mengikuti arus atau hidup melawan arus? Ilustrasi Niagara Falls,yang kami kunjungi 4 tahun lalu/foto : dok.tjiptadinata efffendi

Kedua falsafah hidup ini entah siapa yang pertama kali mencetuskannya, sungguh saya tidak tahu, yang pasti bukan diri saya. Terlepas dari siapa yang pertama kali menemukannya, yang pasti kita harus memilih salah satu dari antara kedua falsafah hidup ini. Tidak mungkin kita memilih keduanya atau berada diantara keduanya, karena itu kita  harus memilih .

Hidup Mengikuti Arus

Banyak orang yang mengatakan "Kalau saya membiarkan hidup itu mengalir seperti air, Saya tidak mau repot-repot mikirin falsafah ini dan itu. Pokoknya saya pasrah deh. Tidak mau neko neko, titik". 

Pengertian "biarkan hidup mengalir seperti air" memiliki arti yang dalam, karena di dalam falsafah ini terkandung arah dan pedoman hidup yang akan dilalui. Tak ubahnya ibarat pucuk cemara, kemana angin berembus maka ia akan condong ke sana.

Bolehkah orang memiliki falsafah hidup seperti ini? Ya, tentu saja boleh. Bukankah setiap orang diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing? Setiap orang memikul tanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Air Mengalir

Sifat alami air adalah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Tidak perlu harus ke Niagara Falls atau ke kampung halaman saya di Padang Panjang untuk menyaksikan air terjun. Tengok saja ketika banjir melanda kampung kita, ketika air menyusut pasti bukan ke atas atap, tapi mengalir masuk ke dalam selokan dan kemudian bersama dengan segala macam sampah hanyut atau dihanyutkan menuju ke laut lepas.

Saya pernah dapat petuah dari mantan mandor gudang ketika saya bekerja di pabrik karet PT PIKANI di daerah timbang Deli di desa Petumbak, pinggiran kota Medan pada tahun 1966. Pada waktu saya diangkat sebagai juru timbang, mandor ini mengajak saya ke pinggir sungai yang airnya mengalir sangat deras. 

"Aseng, kalau kau kerja di sini mengikuti arus, maka kau sama dengan sampah dan bangkai ayam yang hanyut itu," katanya  sambil menunjuk ke arah air sungai yang menghanyutkan tumpukan sampah dan bangkai ayam.

Pada waktu itu, saya sama sekali belum paham maksudnya apa. Tapi karena saya menghormati orang tua yang bermaksud baik, maka saya hanya mengiyakan dan mengucapkan terima kasih. 

Belakangan baru saya memahami, ketika saya diajak untuk melakukan korupsi di perusahaan dengan jalan mengubah angka barang masuk dari 2.420 Kg. menjadi 4.220 Kg. Kalau saya mau mengikuti arus, maka saya dikasih uang segepok yang mungkin jumlahnya 3 atau 4 bulan gaji saya sebagai buruh. Tapi bersyukur, walaupun hidup saya dan istri pada masa itu adalah ibarat orang sekarat, tapi saya tidak mau menistai diri dan menolak "suapan" tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun