Hidup Berada di Titik Nadir,Bukan Berarti Harus Hara Kiri
Hidup yang terpuruk selama bertahun tahun,dapat menyebabkan orang menjadi frutuasi,yang akan berujung pada rasa keputusasaan. Merasa bahwa jalan hidupnya sudah mengalami titik buntu. Tidak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan hidupnya. Dalam kondisi mengalami distorsi kejiwaan yang sangat kritis ini, tidak jarang orang dihadapkan pada pilihan:
bunuh diri atau melakukan tindak kejahatan
Karena itu kita seringkali terperanjat, mendapatkan kabar,bahwa orang yang kita kenal sebagai orang baik baik,ternyata mati bunuh diri. Mengakhiri hidupnya dengan jalan menggantung diri, minuim racun serangga,bahkan lebih sadis lagi menyayat perutnya sendiri. Tetangga saya sewaktu masih tinggal di Padang, beberapa orang ,yang saya kenal sebagai orang baik, ternyata melakukan “hara kiri” dengan metodanya masing masing.
Alasannya adalah karena merasa dirinya tidak berguna lagi untuk keluarga. Merasa sebagai kepala keluarga tidak mampu mengayamoni keluarganya. Sebagai “kapten “ dari bahtera rumah tangga ,tidak mampu menyelamatkan anggota keluarga dari kemiskinan dan kemelaratan. Untuk melakukan tindak kejahatan,dengan mencuri atau merampok, tidak ada dalam kamus mereka,maka jalan yang tampak bagi mereka hanya satu,yakni : “mati.”
Salah seorang tetangga saya, sehari sebelum hara kiri, bercerita panjang lebar kepada saya,yang pada waktu itu hidup juga dalam keadaan morat marit.. Koh Tju ini jauh lebih tua daripada saya.Sudah berkeluarga dan punya anak 4 orang. Diberhentikan dari pekerjaan,sebagai penjaga gudang. Terus setiap hari tampak duduk bermenung di anak tangga jalan menuju ke Kelenteng,
Hari itu, saya dipanggil duduk. :” Hei ,sinilah sebentar, gua tidak punya teman ngobrol nih”,kata Koh Tju. Maka langkah saya yang tadinya mau ke Pasar Tanah Kongsi, saya tangguhkan.Duduk disamping Koh Tju dan mendengarkan kisahnya. “Gua sudah 3 bulan nggangur. Kasian tengok bini gua ,harus terima cucian dan dibantu sama mande gua yang sudah tua. Gua sudah coba cari kerja, mau kuli kek mau bersihkan selokan kek,nggak gengsi gengsian , Tapi kan lu sendiri tahu, di kampung kita ini, rata rata orang hidupnya susah. Mau merantau ke Jakarta, masa gua harus merampok dulu?” Gua sedih,karena bukannya memberi nafkah,malah gua ikutan makan nasi ,hasil dari kerja istri dan mande gua… coba lu bayangkan, gimana perasaan gua…….” Kata Koh Tju curhat.
Sebagai orang yang jauh lebih muda usianya,,mana berani saya memberikan nasihat kepada orang yang sudah beranak 4. Apalagi hidup kami sendiri morat marti, masa iya sok mau kasih nasihat ?Maka saya hanya mengatakan :” Sabar ya Koh Tju. Pasti ada jalan keluar.Saya doakan ya Koh. Saya sendiri hidup masih morat marit’ Kemudian pamitan, karena masih banyak kerjaan yang harus saya siapkan.
Keesokkan harinya ,dapat kabar ,bahwa Koh Tju,tewas dengan melakukan hara kiri dengan gaya jepang, yakni membedah perutnya sendiri. Tentu saja saya sangat sedih..Peristiwa ini hingga kini masih sangat jelas terbayang dalam pikiran saya.
Ketika Hidup Berada di Titik Nadir,Jangan Lakukan Hara Kiri
Kalau sekedar bercerita, berceramah atau memotivasi orang ,tentu sangat mudah. Namun tulisan ini,saya kutip dari perjalanan hidup kami yang pernah mencapai titik nadir. Kata :” nadir “ ada dalam kosa kata bahasa Inggeris. Penulisannya persis sama, hanya pronounciation atau melafazkannya yang berbeda. Banyak orang mengira, kata :” nadir “ berasal dari bahasa Arab,tetapi sesungguhnya berasal dari kosa kata bahasa Inggeris.
Kata “nadir’ bermakna tiba disuatu titik yang terendah dalam perjalanan hidup anak manusia. Tidak tampak lagi ada jalan lain.Semua seakan akan sudah tertutup rapat. Pikiran seperti inilah yang tidak jarang mengantarkan banyak orang mengambil jalan pintas. Yakni melakukan tindak kejahatan : mencopet, mencuri atau merampok dan pilihan lain adalah melakukan hara kiri atau mati bunuh diri.