Mohon tunggu...
Tjakra Law
Tjakra Law Mohon Tunggu... Pengacara - Advocates & Industrial Relations Practitioners

Non Partisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mendesaknya Litigasi Elektronik pada Seluruh Pengadilan Dikaitkan dengan Covid-19

2 September 2020   03:34 Diperbarui: 2 September 2020   03:22 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Solus Populi Suprema Lex Esto)."

Penyebaran Corona Virus Disease 2019 ("COVID-19") di Indonesia setiap harinya semakin meningkat. Hal mana hingga hari ini (Senin, 31 Agustus 2020) jumlah kasus positif sebesar 174.796 kasus terkonfirmasi dan 7.417 kasus meninggal dunia. Terkait COVID-19 ini, beberapa Pengadilan Negeri di Indonesia pun sempat menghentikan aktivitasnya. Peristiwa terbaru adalah dengan ditutupnya Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor dan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas I A selama 1 (satu) minggu sejak tanggal 25 Agustus 2020 sampai dengan tanggal 1 September 2020, kecuali pelayanan yang sangat mendesak yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya. Yang mengakibatkan beberapa persidangan ditunda, dalam hal ini seperti persidangan perkara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ("PPHI") dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang ("PKPU") yang penulis jalani selaku Advokat/Kuasa Hukum.

Dalam kesempatan ini, perkenankan penulis menyampaikan suatu usulan terkait perlunya atau mendesaknya persidangan elektronik atas perkara perselisihan hubungan industrial, penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan, serta perkara lainnya (yang belum diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik ("Perma 1/2019")) sehubungan dengan pandemi a quo. Sebagaimana kita ketahui bersama, Mahkamah Agung Republik Indonesia ("MA RI") telah meluncurkan aplikasi litigasi elektronik sejak tahun 2018 melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik ("Perma 3/2018") yang kemudian dicabut keberlakuannya dan digantikan dengan Perma 1/2019 yang diundangkan pada tanggal 8 Agustus 2019, serta berlaku sejak 19 Agustus 2019. Dengan litigasi elektronik ini diharapkan proses penyelenggaraan peradilan dapat dilakukan dengan lebih sederhana, cepat dan biaya ringan dikarenakan semakin efektif dan efisien dalam prosesnya. Penulis pun sempat hadir dalam acara "Sosialisasi dan Diskusi E-Litigasi: Problematika Penerapan E-Litigasi Bagi Advokat" yang diadakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia Suara Advokat Indonesia ("PERADI SAI") pimpinan Advokat Juniver Girsang pada tanggal 2 September 2019 di Hotel Pullman, Jakarta. Dalam aturannya litigasi elektronik ini hanya dapat dilakukan secara khusus atas perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer dan tata usaha negara (vide Pasal 3 ayat (1) Perma 1/2019).

Bagaimana dengan jenis perkara lainnya? Apakah dimungkinkan dilakukan secara elektronik bilamana dikaitkan dengan pandemi COVID-19? Senyatanya jenis perkara lainnya tidak disebutkan dalam Perma 1/2019. Mengenai hal ini pun pada akhirnya MA RI tidak tinggal diam, yakni dengan menerbitkan Surat Edaran MA RI No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya pada tanggal 23 Maret 2020 ("SEMA 1/2020") yang mencabut keberlakuan Surat Edaran Sekretaris MA RI No. 1 Tahun 2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Hakim dan Aparatur Peradilan Dalam Upaya Pencegahan Penyebaran COVID-19 di Lingkungan MA RI dan Badan Peradilan di Bawahnya tertanggal 17 Maret 2020. Hal mana dalam SEMA 1/2020 tersebut selain mengatur terkait penyesuaian sistem kerja bagi Hakim dan Aparatur Peradilan, juga tentang dilaksanakannya persidangan untuk perkara pidana, pidana militer dan jinayat, namun dengan beberapa ketentuan khusus.

Kemudian dalam perjalanannya lembaga penegak hukum (MA RI, Kejaksaan RI dan Kementerian Hukum dan HAM RI) menandatangani Perjanjian Kerja Sama tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference pada tanggal 13 April 2020 ("PKS 13 April 2020") sehubungan dengan penyebaran COVID-19 yang semakin meluas dan mengkhawatirkan. Adapun berdasarkan data dari Kejaksaan RI sejak 30 Maret 2020 sampai dengan 6 Juli 2020 telah dilaksanakan persidangan tindak pidana umum sebanyak 176.912 kali. Hal tersebut dilakukan berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI No. 5 Tahun 2020 tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penanganan Perkara Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan Kejaksaan RI tertanggal 23 Maret 2020 dan Surat Jaksa Agung RI No. B-049/A/SUJA/03/2020 Tahun 2020 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan di Tengah Upaya Mencegah Penyebaran Covid-19 tertanggal 27 Maret 2020, sebelum diterbitkannya PKS 13 April 2020. Yang artinya, Lembaga Penegak Hukum di Indonesia pun telah menyadari bahwasanya wabah COVID-19 sangat membahayakan, yang tidak hanya membahayakan bagi para aparat penegak hukum saja, melainkan bagi para pencari keadilan dan rakyat Indonesia pada umumnya. Oleh karenanya, langkah terobosan hukum perlu diupayakan, serta dilakukan guna terpenuhinya hak konstitusi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Ada pengalaman yang menarik dan penulis sangat apresiasi terkait persidangan perkara perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial Banten pada Pengadilan Negeri Serang beberapa bulan yang lalu. Persidangan dengan agenda Kesimpulan yang dilaksanakan pada tanggal 15 April 2020, dilakukan dengan cara mengirimkan Kesimpulan melalui surat elektronik (e-mail). Meskipun hal ini baru dilakukan saat persidangan dimaksud, namun inilah upaya dari Majelis Hakim dalam perkara a quo guna mencegah penyebaran COVID-19. Mengingat banyaknya perkara perselisihan hubungan industrial kala pandemi COVID-19 melanda. Sampai dengan saat ini jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang mengalami pemutusan hubungan kerja ("PHK") lebih dari 3,5 juta pekerja (red. data Kementerian Ketenagakerjaan per 31 Juli 2020).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, merupakan keniscayaan bahwasanya permasalahan yang terjadi saat ini tidak hanya dilakukan dengan pendekatan secara normatif belaka. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif guna solusi terbaik bagi para pencari keadilan pada khususnya. Diperlukan perubahan hukum yang bersifat pro aktif yang seolah-olah tidak didesain, tetapi terjadinya disadari dan diharapkan oleh masyarakat (dalam hal ini seperti praktik Majelis Hakim dalam berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial Banten pada Pengadilan Negeri Serang yang penulis alami). Namun demikian bilamana Pemerintah RI selaku eksekutif, Lembaga Legislatif dan/atau Yudikatif akan melakukan perubahan hukum normatif yang didesain secara sadar dan menghasilkan hasil yang diharapkan oleh masyarakat, maka perubahan dimaksud harus segera dilakukan dikarenakan "Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Solus Populi Suprema Lex Esto)."

Jakarta, 31 Agustus 2020

Salam keadilan..!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun