Kakawin menempatkan cinta, kerinduan, kehilangan dan perpisahan dengan  romantik dan amat erotik. Seksualitas dengan aspeknya yang kembar yaitu kepedihan dan kenikmatan mendominasi semesta metaforik teks kakawin (Helen Creese, 2012).
Erotisme seksual dalam kakawin dilukiskan dengan sangat hati-hati, estetis, dan banyak menggunakan metafora flora dan fauna.
Hal ini dapat dilihat dalam kakawin Parthayana yang diterjemahkan oleh  Helen Creese:
...bingung dan lesu, Sang Putri yang cantik semakin takut, merintih/membungkuk anggun ke samping saat Sang Pangeran mencoba merangkul pinggangnya/bergerak menjauh.../jantungnya berdebar kencang, sang pangeran kian bergairah/jelas ia adalah perwujudan madu dicampur sirup manis/mirip gemuruh bulan keempat yang meringankan derita disakiti cinta/.../sang putri berdoa, lelah melawan tenggelam dalam tangis/dia tak berdaya menyerang dengan tangannya, kukunya seolah tumpul/saat sang pangeran menjamah sabuknya, ikat pinggang itu tiba-tiba terlepas dari wangi dan ramping pinggang sang putri/.../tak mampu menahan gairahnya yang memuncak/sang pangeran membiarkan dirinya dikuasai kekuatan besar dari nafsu yang tak terbatas/
Metafora flora dan fauna menjadi sarana simbol dalam mengungkapkan erotisme seksual teks-teks kakawin.
Dalam Arjuna Wijaya simbol-simbol teratai membuka kelopak, mengunyah sirih, tunas lembut anggur gadung dan sebagainya berhasil 'menyantunkan' erotisme seksual:
../dia memuji payudaranya dalam kidung dan kakawin dan mencium pipinya/berkat bujukan dengan cara ini, sang ratu melunak seperti malam saat teratai/membuka kelopak bunganya untuk sinar bulan/akhirnya sang ratu menyerahkan diri pada keinginan sang pangeran/dan tidak lagi menolak mengunyah sirih/... indahnya cara dia melepaskan kain sang ratu/begitu dia malu-malu berbaring di bawah tubuh sang pangeran/menawan berpelukan/lengan mereka seperti tunas lembut anggur gadung.
Berbeda dengan kakawin, teks kuno yang bergenre serat yang berbentuk prosa lebih berani walaupun tetap memanfaatkan simbol flora dan fauna.
Serat Damar Wulan yang diterjemahkan Noriah Mohamed menunjukkan hal itu: '..Kyai Patih tidak sabar, isterinya ditarik dan diciumi, kelakuannya seperti kumbang menghisap madu bunga...."
Seksualitas yang menyimpang juga tergambar dalam teks-teks kuno. Dalam Serat Centini karya Pakubuwono V terdapat erotisme seksual sesama jenis atau homoseksual (Setya Yuwana Sudikan, 1993).Â
Jauh sebelum karya itu ditulis, Kakawin Hariwangsa juga menunjukkan adanya perilaku lesbian (Helen Creese, 2012).