Ucapan ini membuat publik semakin bertanya-tanya, apa sebenarnya logika polisi dalam menyita barang bukti?
Keluarga Menolak Versi Polisi
Setelah penyelidikan intensif, Polda Metro Jaya akhirnya menyimpulkan, tidak ada keterlibatan pihak lain. Dengan kata lain, polisi menyatakan Arya meninggal karena bunuh diri.
Namun, keluarga menolak mentah-mentah kesimpulan itu. Mereka yakin Arya tidak mungkin melakukan hal tersebut. Seorang diplomat yang selama ini dikenal religius, disiplin, dan penuh dedikasi pada pekerjaannya, mendadak bunuh diri? Rasanya sulit dipercaya.
Di titik inilah ketegangan muncul, antara kesimpulan resmi aparat, dan keyakinan keluarga yang merasa ada kejanggalan.
Isu Perselingkuhan yang Dibantah Keras
Ketika publik tahu soal sandal pink, kondom, dan pelumas, rumor pun merebak. Ada yang mulai berspekulasi, jangan-jangan Arya punya hubungan lain? Jangan-jangan ada orang ketiga?
Tapi Meta Ayu langsung menepis semua tudingan itu.
"Iya, nggak ada perselingkuhan. Itu barang saya semua, barang saya semua. Sekarang semuanya jadi tahu," tegasnya.
Meta juga menjelaskan, ia sering menginap di kos Arya ketika sedang di Jakarta. Jadi wajar kalau barang-barang pribadinya ada di sana.
Namun tetap saja, isu perselingkuhan terlanjur menyebar. Inilah risiko ketika sebuah kasus pribadi sudah terlanjur jadi konsumsi publik, gosip lebih cepat menyebar daripada klarifikasi.
Kenapa Bukan Drone atau Sepeda?
Pernyataan Meta tentang barang bukti ini juga membuka diskusi lebih luas. Dalam sebuah kasus kriminal, logika publik biasanya sederhana, barang bukti adalah sesuatu yang relevan dengan kejadian.
Kalau seseorang meninggal dengan kepala terlilit lakban, publik akan berpikir, ya, lakban itu penting. Atau benda keras di sekitar lokasi, mungkin botol, kursi, atau benda lain yang bisa jadi alat.