Seseorang yang dulu dielu-elukan sebagai "ikon fintech Indonesia", kini pulang ke tanah air disambut dengan borgol di tangan. Adrian Asharyanto Gunadi, mantan bos besar fintech lending Investree, yang ditangkap di Doha, Qatar, dan dipulangkan ke Indonesia pada Jumat, 26 September 2025.
Kabar ini langsung mengguncang publik. Karena statusnya sebagai buronan internasional yang masuk daftar Red Notice Interpol sejak 2024 dan juga karena kisah hidupnya, dari bankir bergengsi, pendiri startup fintech sukses, hingga akhirnya jadi pesakitan hukum.
Mantan bos Investree, Adrian Gunadi, ditangkap di Qatar dan dipulangkan ke Indonesia. Dari bankir sukses kini hadapi proses hukum fintech. - Tiyarman Gulo
Dari Kampus UI ke Dunia Finansial Global
Adrian bukan orang sembarangan. Ia lahir dan besar dengan prestasi akademik mentereng. Tahun 1999, ia lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, jurusan Akuntansi. Tak berhenti di situ, ia melanjutkan studi ke Belanda, tepatnya di Rotterdam School of Management, dan meraih gelar MBA pada 2003.
Bekal pendidikan itu membawanya melanglang buana di dunia perbankan internasional. Ia pernah menjabat Cash and Trade Product Manager di Citibank Indonesia (1998--2002), lalu terbang ke Dubai untuk bergabung dengan Standard Chartered Bank sebagai Product Structuring (2005--2007).
Kariernya terus menanjak. Dari 2009 hingga 2015, Adrian dipercaya sebagai Managing Director Retail Banking di Bank Muamalat Indonesia. Enam tahun di posisi itu membuat namanya harum sebagai salah satu bankir syariah paling berpengaruh di tanah air.
Lahirnya Investree, Harapan Baru Fintech Indonesia
Setelah meninggalkan Bank Muamalat, Adrian memilih jalan baru. Ia mendirikan Investree, sebuah platform peer-to-peer (P2P) lending yang kala itu masih terdengar asing bagi banyak orang.
Investree hadir dengan misi sederhana, mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman secara digital, cepat, dan transparan. Di bawah kepemimpinan Adrian, Investree tumbuh pesat. Ia dipandang sebagai pionir fintech lending di Indonesia, bahkan jadi inspirasi bagi startup lain di Asia Tenggara.
Investree sempat meraih pendanaan besar, termasuk seri D senilai USD 231 juta (sekitar Rp3,7 triliun) yang dipimpin JTA International Holdings. Bagi ekosistem startup, itu pencapaian luar biasa.
Bisa dibilang, di masa itu Adrian adalah sosok visioner. Banyak yang melihatnya sebagai wajah masa depan industri keuangan digital.
Masalah Muncul, Tingkat Gagal Bayar Melonjak
Namun, kilau itu tak bertahan lama. Awal 2024, Investree dilanda badai besar. Tingkat wanprestasi (TWP90) melonjak ke angka 16,44%, jauh di atas ambang batas OJK sebesar 5%. Artinya, banyak peminjam macet dan gagal bayar.