Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketoprak Tobong: Javanese Gipsy yang Tak Pernah Berhenti

1 April 2013   18:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:53 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_245453" align="alignleft" width="300" caption="panggung tobong"][/caption] Saya perkenalkan kembali soal ketoprak tobong. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah INTISARI tahun 2011. Dalam rangka penelusuran itu pula, saya kemudian menjadi dekat dengan peraga di sana. Walau saya tidak akan pernah menjadi orang tobong, saya coba menuliskannya.

****

Gerimis turun pelan di Yogyakarta 27 Oktober 2010 malam. Pelataran Taman Budaya Yogyakarta mulai basah, pun kursi besi yang ditata mulai dingin. Hanya keadaan tak nyaman itu tak memupuskan niat para seniman Yogyakarta dan sekitarnya untuk menunggu dibukanya pameran seni rupa ‘Tanah Jawa’ yang diselenggarakan Art Liberation Front.

Sejak orasi pembukaan, suasana suram mulai terasa. Bukan hanya karena tak jauh dari pelataran itu, Gunung Merapi mengisyaratkan ingin sendiri hingga di kakinya, puluhan ribu warga terpaksa mengungsi. Tetapi juga ‘tragedi’ berakhirnya perjalanan beberapa kesenian tradisional, khususnya tradisional Jawa. Ada beberapa yang hilang sama sekali dan tak ada penerusnya. Ada beberapa yang tetap bertahan, dengan satu satu peraga yang teguh mempertahankan keberadaannya. Salah satunya ketoprak tobong Kelana Bhakti Budaya asal Kediri.Melalui slide dan performent art tunggal yang disajikan Risang Yuwono, fotografer yang juga salah satu anggota tobong, pengunjung pameran turut menyaksikan perjuangan keberadaan tobong, keberadaan sebuah panggung ketoprak.

Javanese gipsy

Mendengar kata ketoprak, kebanyakan orang akan membayangkan ketoprak humor yang ditayangkan di salah satu televisi swasta. Tak heran, karena itulah ‘ketoprak’ yang masih bertahan menghibur masyarakat Indonesia di era televisi kabel. Walaupun ketoprak tersebut hanya mengambil salah satu adegan dari keseluruhan panggung ketoprak pada masa lalu. Kisah masih sama, hanya disampaikan dengan kemasan berbeda dan lebih mengedepankan lawakan. Hingga susah dibedakan mana ketoprak atau pertunjukkan lawak. Tapi tak masalah, paling tidak masyarakat masih kenal bahwa Indonesia khususnya Jawa punya kebudayaan tradisional yang namanya ketoprak.

Lebih unik lagi ketoprak tobong, ketoprak yang berjalan dari tempat satu ke tempat lain, lengkap dengan panggung dan tempat tinggal penghuninya. Kehidupan tobong nyaris sama dengan kehidupan kaum gipsy di manca negara. Kaum gipsy tak punya tempat tinggal tetap, selalu berpindah dengan caravannya. Menganut hidup antikemapanan dan dengan beragam tujuan yang berbeda setiap individu. Sementara tobong tujuannya benderang, bukan hanya sekedar anti kemapanan. Mereka punya misi mulia untuk melestarikan salah satu kebudayaan Jawa agar terus ada. Salah satu identitas nusantara yang menjadikan tanah ini sempat berjaya dengan kristalisasi nilai- nilai kearifan nenek moyang yang salah satunya dalam wujud ketoprak.

Nilai – nilai itu disisipkan dalam setiap dialog dan kisah yang dipentaskan. Antara lain tentang cerita panji, kisah kerajaan Mataram dan terkadang juga mengadopsi kisah lain sesuai dengan keinginan penonton. Ajaran luhur untuk tata kehidupan akan lebih mudah disampaikan melalui hiburan. Termasuk sindiran untuk pemimpin yang tak menjalankan amanah, manusia yang lupa dengan kebenaran dan lain sebagainya. Walaupun setting kisah jaman raja – raja, namun bukankah sejarah senantiasa berulang walau beda peraga ? Itulah kenapa, nilai luhur dalam budaya tradisional itu masih relevan untuk menjadikan Indonesia tumbuh sesuai dengan karakter khasnya, identitasnya. Identitas yang dibangun nenek moyang itu adalah hasil perenungan dan terjemahan bahasa alam setempat. Idealisme itu yang menjadikan peraga tobong tetap bertahan.

“Selain itu, mereka tak ada tempat lain untuk pulang. Rumahnya ya di tobong itu,” kata Risang. Hanya sayang, akhir – akhir ini rumah yang menjadi home sweet home itu tak lagi ramai didatangi pengunjung. Kursi hanya berbaris sendirian tanpa penghuni. Tak ada lagi penonton yang menjadi nyawa dari kehidupan tobong. Karena para peraga bukan saja hidup dari uang yang didapat dari pementasan, namun penontonlah yang menjadi hidup mereka sesungguhnya

Sejumlah kota telah ia lalui, lebih dari 20 kali pindahan sejak tahun 2000. Kelana Bhakti Budaya, berkelana untuk membaktikan hidup mereka pada budaya. Awalnya penontonnya ratusan orang di setiap persinggahan yang rata – rata 3 bulan dengan tiap malam pementasan. Tak sia – sia peraga yang tak lagi muda itu melakukan adegan laga berbahaya tanpa stutment. Make up dengan komestik murah yang kadang bikin kulit iritasi pun ditempuh demi menampilkan keagungan wajah nusantara masa silam. Pun inchi demi inchi busana gemerlap yang mereka jahit sendiri dengan tangan, menempelkan manik – manik berkilauan secemerlang applause penonton mengakhiri setiap pertunjukkan.

Hanya saja, semakin hari, kursi kosong bermunculan. Hingga akhirnya yang terisi tinggal beberapa. Tiket pertunjukkan yang hanya seharga Rp 4000,- kelas biasa, dan Rp 5000,- kelas VIP itu tak terjual. Akibatnya, tobong tak lagi bisa menghidupi dirinya sendiri.Gipsy van java ini pindahan yang pindahannya bukan dengan caravan nyaman namun dengan truk, akhir – akhir ini sulit pindah karena tak ada biaya.

“Kita pilih Yogyakarta sebagai tempat terakhir kita untuk mendirikan tobong. Karena saya dengar, Jogja itu kan kota budaya. Tapi sudah 12 bulan kami menetap di lapangan Jodog, Pandak, Bantul, Yogyakarta, tetap tidak ada tanggapan,” terang Risang. Karenanya, dengan terpaksa ketoprak ini harus pamit dari Yogyakarta. Pamit mati di kota budaya itu pada 31 Mei silam. Di alun – alun Selatan, Yogyakarta, pentas itu berjudul Ranggalawe Gugur. Kisah ini adalah satu kisah babad Majapahit, dimana Ranggalawe adalah pengikut setia Raden Wijaya yang turut membesarkan kerajaan Majapahit. Hanya sayang, ia sempat dituduh sebagai pemberontak yang sebenarnya adalah korban intrik pemerintahan. Hingga kini, khususnya masyarakat Tuban, Jawa Timur mengenang Ranggalawe sebagai pahlawan yang berjasa membesarkan Majapahit, bukan sebagai pemberontak. Filosfi yang senada yang ingin disampaikan oleh Kelana Bhakti Budaya. Bahwa budaya luhur pernah dan akan terus menyumbang untuk kebersan nusantara.

Sayang sekali, pamit mati itu pun tak mendapat jawaban dari pihak yang dipamiti. Pemerintah seakan – akan tidak hadir di tengah perjuangan peraga budaya ini. Hanya 200-an orang penonton dan beberapa lembar karangan bunga yang mengantar grup ini untuk meninggalkan pusat kebudayaan untuk mencari tempat baru.

“Ada dermawan yang menawarkan lahannya untuk kami pindah. Di sanalah kini kami bertahan,” terang Risang. Saat pindahan, sebenarnya butuh dana di atas Rp 20 juta. Tapi pindahan kali ini bisa dibilang karena keajaiban semangat. Uang yang tak seberapa, bahkan sempat menjual barang pribadi dari peraga, pindahan itu berhasil dilakukan. Bahkan dengan waktu yang lebih pendek dari seminggu, waktu yang biasanya dibutuhkan untuk membongkar panggung, packing hingga mengangkut.

“Ada semangat di luar sadar mereka,” tambahnya. Pendapatan yang tak lebih dari Rp 3.000,- di akhir pentas, tidak ada tempat yang lapang untuk pindah.Tapi tak terbersit niat sedikitpun untuk anggota tobong untuk meninggakan tobong.

[caption id="attachment_245455" align="alignleft" width="300" caption="Harga tiket yang murah meriah"]

1364815518519574453
1364815518519574453
[/caption]

Hidup mereka di tobong

Jalan berdebu itu membujur di tengah ladang yang baru ditinggalkan panen. Sejauh 15 km ke arah utara dari Jl. Jogja – Solo, di sebelah kanan jalan ada papan kecil bertuliskan ‘Kelana Bhakti Budaya’. Tobong itu kini berdiri sederhana di kawasan Kalasan, sebelah timur Candi Pambranan. Sebuah panggung ketoprak berbahan besi dan bambu dengan geber yang sudah renta. Layar kain itu menampilkan lukisan untuk mendukung pementasan. Ada yang bergambar hutan, pedesaan, pendapa kerajaan, hingga setting peraduan nan megah. Lukisan itu kontras dengan panggung kehidupan nyata para peraganya. Di belakang panggung itu, 20 orang peraga tobong bermukim. Mereka membangun bilik bambu berukuran 2 x 3 m untuk tempat tidur, dapur sekaligus ruang makan. Kemewahan yang bisa kita lihat hanyalah beberapa lembar foto yang tertempel di bilik. Foto ketika mereka menjadi panglima, raja atau putri dengan busana gemerlap saat di pentas.

Kemewahan dan kebanggan yang sama dapat kita temukan ketika mereka menceritakan pementasan. Pairan, lelaki yang mendekati usia 70 tahun itu mendendangkan tembang Asmaradana. Salah satu tembang cinta yang didendangkan ketika menjadi Tumenggung Wiraguna, salah satu peran antagonis lakon Pranacitra - Rara Mendut. Kisah cinta tragis yang berakhir dengan kematian sepasang kekasih, mirip Romeo Juliet versi Jawa. Menunjukkan gerak tari, adegan hingga dialog saat manggung menjadikanyaberbinar. Ia lupa bahwa tulangnya sudah mulai linu dan dadanya ringkih tak tahan masuk angin.

“Saya kalau lagi jadi panglima, semua orang pangling (tak mengenali). Gagah dan tangkas,” ujar Mami Sutiyani sembari menunjukkan gigi depannya yang patah akibat roll depan di panggung dalam satu adegan. Perempuan itu usianya mendekati 80 tahun, nampak renta di hari biasa. Hanya saja ketika di panggung, seakan usianya mundur 40 tahun ke belakang dengan memerankan tokoh lelaki gagah panglima kerajaan Mataram. Demi perannya, Sutiyani masih terus membentuk fisiknya dengan olah raga setiap pagi. Tak tanggung – tanggung, lari sejauh 3 kali keliling lapangan bola masih kuat ia jalani.

Demikianlah kehidupan panggung tobong seakan mampu mengembalikan semangat muda kedua puluh peraga yang rata – rata sudah di atas setengah abad. Memang ada beberapa yang masih muda, tapi memang mereka lahir di tobong. Mereka lahir, besar bahkan hingga tutup usia pun di tobong. Baik dengan Kelana Bhakti Budaya maupun bergabung dengan juragan yang lain. Juragan yang dimaksud adalah pemimpin tobong sekaligus pemilik.

13648160361462857921
13648160361462857921

Tahta tertinggi adalah tahta rakyat

“Kalau di tobong itu sistemnya juraganisme. Para pemain digaji oleh juragan yang mengelola uang dari hasil manggung. Nah, kalau tidak manggung, mereka juga tetap minta gajian,” kata Dwi Tartiasa tersenyum getir. Dwi adalah pemimpin sekaligus pendiri ketopak tobong Kelana Bhakti Budaya.

Sembari duduk di kursi yang biasanya menjadi singgasana raja, Dwi mengenang kembali ke masa 10 tahun silam ketika Kelana Bhakti Budaya baru berdiri. “Saya bukan seniman, bukan budayawan, saya sebenarnya rohaniawan,” katanya. Hanya kebetulan Dwi dan Nelly, istrinya, suka melihat pementasan ketoprak tobong dari satu tempat ke tempat lain. Kala itu banyak sekali grup ketoprak terutama di Kediri, Jawa Timur. Dari panggung itu banyak sekali lahir seniman terkenal yang kini namanya berkibar di Jakarta.

Akhir tahun 1999, Dwi mendapati grup ketoprak tobong Candra Kirana bangkrut. Peraganya tak tahu harus pulang kemana. Karenanya, dengan berbekal niat untuk membantu para peraga tetap hidup, Dwi mengambil alih grup ketoprak itu, 23 Juli 2000. “Bukan hanya sekedar melestarikan budaya, tapi lebih pada tanggung jawab sosial,” kenang Dwi yang tak rela melihat orang sekelilingnya menderita. Keahlian mereka hanya bermain di tobong. Kalaupun jadi buruh sudah tak ada tenaga bagi yang sudah berumur. Sementara yang muda, tak punya pendidikan formal untuk melamar kerja.

Hanya saja, ternyata tak mudah mengurus tobong. Selain tekanan pergeseran budaya yang mengalihkan penonton, juga permasalahan interen. “Namanya hidup dalam keluarga besar, selalu ada konflik pribadi,” kata xxx. Pindidikan yang tak memadahi mempengaruhi pola pikir yang tak siap untuk menyesuaikan dengan gempuran jaman. Walaupun demikian, pernah juga mereka meninggalkan tobong untuk kerja dan menetap seperti masyarakat pada umumnya. Tapi ternyata tak bertahan lama, kembali lagi ke tobong.

Mereka hanya punya semangat yang tulus untuk hidupnya tobong. Untuk melanjutkan visi budaya, kini tobong mulai berbenah dengan keadaan seadanya. Strategi diubah, bukan lagi menunggu penonton namun menjemput penonton. Di lahan seluas 1000 m persegi itu, di panggung yang sederhana, mereka menggelar kursus tari dan karawitan untuk anak – anak maupun orang lain yang berminat. Tujuannya tak lain untuk mengenalkan budaya ini dan membentuk generasi penerus. Selain terus aktif di kegiatan lain yang mendukung hidup sehari – hari, hidup yang sebenarnya tetap mereka impikan yakni pentas.

“Kalau tentang seni panggung, jangan ditanyakan lagi. Mereka bisa pentas tanpa skrip. Hanya lakonnya apa, peraganya akan tampil sesuai dengan peran mereka,” tambah Dwi. Masing – masing tokoh seakan sudah merasuk dalam darah masing – masing.

Menurut Dwi, pencapaian peran tertinggi justru bukan ketika seseorang itu memerankan raja. Namun menjadi rakyat jelata yang muncul dalam adegan lawak.

“Ini paling sulit, karena menyangkut interaksi panggung dengan penonton. Pelawak harus bisa masuk ke hati penonton,” terang Dwi. Karenanya, untuk memerankan pelawak harus melewati banyak tahap. Mulai menjadi baladupak (pemain figuran yang hanya keluar untuk meramaikan perang), pemain figuran, pemain inti sampai akhirnya rakyat jelata (biasanya abdi dalem) yang menjadi pelawak. Dari ini kita tahu, seni peran tak mengenal shorcutuntuk mencapai ketenaran. Dan kedudukan tertinggi adalah rakyat, bukan raja. Sebuah asas demokrasi yang tak harus tersurat dan terucap, namun dilaksanakan dengan kerendahan hati. Sayang, keahlian mendarah daging yang agaknya belum bisa untuk menjadi bekal hidup di nusantara yang bukan lagi Majapahit.

(Titik Kartitiani - Published on INTISARI Magazine 2011)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun