Jasa transportasi jukung getek di tengah modernisasi Kota Banjarmasin. Salman Alfarizi memilih jalan sunyi. Bertahan dengan sampan tua, menyeberangkan penumpang sejak tahun 1995.
Antara gelombang dan bisingnya suara mesin kelotok yang melintas. Di Sungai Kelayan, Salman Alfarizi (58) tampak tersenyum sambil  mengayuh jukung. Membawa penumpang dari Kelayan A, menuju dermaga Pasar Baimbai, Kelayan B, Banjarmasin Selatan dan sebaliknya.
Bapak tiga anak dan tujuh cucu kelahiran 6 Juli 1960 ini cekatan memberangkatkan penumpang. Â Penumpangnya kebanyakan ibu-ibu. Kawasan Kelayan A dan Kelayan B merupakan kawasan padat penduduk di Kota Banjarmasin yang dipisahkan sebuah sungai sepanjang 4,4 kilometer.
Masih menurut Salman, dirinya dari rumah menuju dermaga Kelayan A 15 menit kemudian dengan mengayuh jukung dan saat tiba di demaga ia langsung menyeberangkan penumpang."Saya rutin menarik penumpang setiap hari mulai dari pukul 08.00-13.00 wita setiap hari. Paling libur kalau lebaran saja atau kalau lagi gak enak badan," kata duda yang telah 10 tahun ditinggal mati istrinya itu, Senin (7/8/2018).
Dalam sehari Salman bisa hampir ratusan kali mondar-mandir sungai kelayan. Alhasil warga sangat akrab dengan sosok Salman. Klotok atau perahu yang ia gunakan sejatinya perahu yang seharusnya menggunakan mesin. Namun, Salman memilih tak memakai mesin karena terbentur minimnya modal dan biaya BBM.
Menurut dia, profesi penarik getek sudah turun temurun dari orang tuanya. Kebanyakan mendayung berdampak pada kesehatannya yang makin menua. Salman kerap pegal-pegal di bagian bahu, pinggang, dan perut. "Tapi mau gimana lagi cuma ini pekerjaan," ucap Salman seraya mengusap keringat dan beristirahat sejenak duduk di dermaga Kelayan A itu.
Salman, berharap ketiga anaknya tidak meneruskan jasa penarik jukung. "Cukup saya saja mas, saya ikhlas banting tulang asal anak-anak saya kehidupannya lebih baik dan Alhamdulillah dua anak saya sudah lulus sekolah dan bekerja," kata dia.
Sebelum mangkal di pelabuhan Pasar Baimbai, Salman pernah mangkal di Pasar Lima dan Haur Kuning. Menurutnya pembangunan jembatan membuat dirinya terpaksa berpindah tempat karena sepi penumpang. Dalam sehari, Salman biasa meraih penghasilan Rp 60 ribu. Apabila ada hajatan kawinan, ia bisa meraup Rp 80 ribu.
Adapun tarifnya sebesar Rp 1.000 untuk sekali angkut. Salman pun mesti setor retribusi ke pemilik dermaga dan keamanan lokasi sebesar dipotong Rp 15 ribu per hari. Ia pernah jatuh sakit setelah melayani banyak penumpang. "Kalau tujuh tahun yang lalu disini ramai mas, kalau pas ada hajatan kawinan saya sampai kewalahan," ujar Salman.
Ia miris melihat Sungai Kelayan yang makin kotor penuh sampah. Apalagi saat air sungai surut ia kesulitan mendayung karena jukung tak bisa melintasi sungai. Tabrakan antar perahu pun pernah terjadi meski tak menimbulkan korban jiwa. "Kalau lagi pandit (air surut) terpaksa istirahat, perahunya gak bisa nyebrang. Kalau air pasang baru bisa narik lagi," terangnya.