Mohon tunggu...
Tinta Digital
Tinta Digital Mohon Tunggu... Administrasi - Akun ini saat ini bersifat pribadi dan dimiliki oleh satu orang

Tinta Digital adalah karya asli Kelas Cyber Journalism Mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2015 FISIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin . Semoga menjadi inspirasi buat pembaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reyog Bukan Reog

29 November 2018   10:41 Diperbarui: 29 November 2018   10:56 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Reyog yang merupakan warisan budaya Ponorogo ini memiliki banyak keunikan yang menjadikannya terkenal didalam maupun diluar negeri. Meskipun begitu, banyak yang salah kaprah dengan penulisan reyog dan menuliskannya dengan kata reog.

Penggunaan kata reog ini dianggap salah dan tidak sesuai dengan filosofi awal kesenian ini. Salah satu penentang penggunaan kata reog adalah warog dan budayawan asal Reyog Singo Budoyo Ngebel yang berlokasi di Dukuh Sekodok, Desa Ngebel Kabupaten Ponorogo.

Dalam Jagongan Budaya yang menjadi salah satu rangkaian acara Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) XII Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), warog menjelaskan perbedaan antara kata reog dan reyog.

Reyog adalah singkatan dari tembang pocung yang memiliki makna dan filosofi mendalam. R merupakan akronim dari Rasa Kidung. I adalah akronim dari Ingwang Suksma Adiluhung. Y merujuk pada Yang Widhi. O adalah Olah Kridaning Gusti. Sementara G adalah Gelar Gulung Kersaning Kang Maha Kuasa.

Versi lain dari sejarah penggunaan kata reyog adalah penulisan dalam aksara jawa yang menggunakan huruf y. Konon, reyog ini juga merupakan singkatan dari Rasa Eling Yekti Ora Goroh. Jika ditermahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas berarti rasa ingat berbakti tanpa dusta. Versi sejarah manapun yang diyakini, pada intinya adalah penulisan kata reyog yang benar adalah dengan menggunakan y bukan tanpa y.

Semantara jika dilirik dari sejarah pergeseran kata reyog dan reog ini dapat ditelusuri hingga masa pemerintahan orde baru. Saat itu, bupati Ponorogo, Mangoen Singodimedjo membuat semboyan untuk kota Ponorogo.

Semboyan itu adalah REOG yang merupakan akronim dari Resik (bersih), Endah (indah), Omber (mengemukaan suatu tujuan dengan sedikit pamrih), Girang Gumirang (semangat yang tinggi). Karena kata reog ini menjadi slogan yang cukup terkenal, akhirnya masyarakat menggunakan kata reog dalam penulisan reyog Ponorogo.

Oleh karena itulah, banyak budayawan reyog yang kemudian menyesalkan KBBI yang justru menggunakan kata reog. Didalam KBBI sendiri reog berarti tarian tradisional dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat, mengandung unsur magis, penari utamanya adalah orang berkepala singa dengan hiasan bulu merak, ditambah penari bertopeng dan berkuda lumping, yang semuanya adalah laki-laki.

Bisa juga diterjemahkan sebagai seni tradisional sebagai hiburan rakyat (masyarakat) dengan lagu-lagu segar yang diiringi calung, diselingi sindiran atau pujian dalam bentuk humor.

Dalam perkembangannya, tarian reyog Ponorogo tidak hanya ditarikan oleh penari laki-laki. Penari perempuan pun ikut meramaikannya dengan menjadi penari berkuda. Penari berkuda yang ditarikan oleh perempuan ini salah satunya adalah pementasan saat mukernas XII PPMI di Ngebel, Kabupaten Ponorogo pada 24 November 2018 yang lalu. (Kiky)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun