Mohon tunggu...
T I M Tarigan
T I M Tarigan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Victory Loves Preparation..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kecurangan Ujian Sudah Terjadi Sejak Dulu

20 Juni 2011   00:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam beberapa minggu terakhir, banyak sekali pemberitaan mengenai kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN), baik di tingkat SMA, SMP dan SD.

Yang paling hangat dibicarakan belakangan ini adalah tentang contek massal di salah satu SD di Surabaya dan di Jakarta.

Masalah kecurangan pelaksanaan UN ini selalu terjadi setiap tahun.

Hal di atas mengingatkan kejadian yang saya alami sewaktu SD sekitar 30-an tahun yang lalu. Waktu itu namanya masih EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir).

Saya pindah ke sekolah ini sewaktu naik ke kelas 6 SD (karena mengikuti orang tua pindah tugas). Sekolah ini juga berada di kota besar dan propinsi besar.

Menjelang pelaksanaan EBTA, seluruh siswa kelas 6 SD (ada 3 kelas) dikumpulkan untuk mendapatkan pengarahan dari guru wali kelas dan kepala sekolah. Dalam pengarahan tersebut, kepala sekolah dan guru wali kelas menjelaskan pentingnya EBTA sebagai evaluasi setelah 6 tahun bersekolah di tingkat dasar. Disampaikan juga pihak sekolah merasa berkepentingan agar seluruh siswa/i dapat lulus 100%.

Untuk itu diharapkan kerjasama dan pengertian dari seluruh siswa agar pelaksanaan EBTA dapat berjalan dengan lancar dan seluruhnya dapat lulus.

Kerjasama yang dimaksud adalah, pada saat EBTA dilaksanakan, guru akan memberikan jawaban ke setiap kelas. Tentu maksudnya agar nilai siswa tidak ada yang rendah.

Pengertian disini maksudnya agar setiap siswa dengan sukarela membayar sejumlah Rp 400,- sebagai tambahan honor bagi pengawas ujian.

Dan begitulah yang terjadi, selama EBTA berlangsung, guru masuk ke ruang kelas dan memberikan jawaban, suasana menjadi tidak seperti ujian, lebih mengarah ke diskusi, karena bila ada jawaban dari guru yang tidak cocok, kami para siswa langsung mengkoreksi jawaban yang diberikan guru.

Pada waktu kelulusan diumumkan, sudah dapat diduga, seluruh siswa LULUS.

Saya tahu, orang tua saya dan banyak orang tua siswa lainnya merasa keberatan dengan kebijakan seperti itu, hanya saja pada masa itu belum terbuka seperti masa sekarang ini dan budaya petunjuk dan pengarahan masih lazim digunakan.

Belakangan baru saya tahu, hal tersebut dilakukan kepala sekolah dan guru karena mendapat petunjuk dan arahan dari pihak atasan. Karena berdasarkan peringkat nasional, propinsi tempat SD saya bernaung hanya ranking 23 dari 27 propinsi (waktu itu Indonesia masih terdiri dari 27 propinsi). Jadi agar menaikkan peringkat secara nasional dibuatlah cara instan seperti yang saya tulis di atas.

Pihak sekolah, baik kepala sekolah maupun para guru tentu memiliki beban tertentu sehingga melakukan cara-cara yang tidak terpuji. Semua ingin target tercapai tanpa memikirkan kualitas. Dan yang pasti mereka tetap ingin bekerja.

Jadi bila terjadi kecurangan hendaknya kesalahan dan hukuman jangan langsung dibebankan kepundak mereka.

Saya tidak ingin mendiskreditkan atau mengkambinghitamkan maupun membela salah satu pihak. Hanya saja karena masalah kecurangan selalu terjadi, perlu kiranya dipikirkan kembali pola pelaksanaan UN di masa mendatang tanpa perlu memberikan beban tambahan pada pihak sekolah/guru.

Biarlah para guru tetap terfokus mendidik dan mengajar siswa.

Demikian secuil kenangan saya di masa SD, dan ini menunjukkan bahwa kecurangan setiap diadakan ujian akhir sudah terjadi sejak dulu.

Walaupun demikian, saya tetap menghormati semua guru, karena berkat bimbingan mereka saya bisa menjadi seperti sekarang ini dan tidak menjadi seorang koruptor.

[caption id="attachment_115003" align="aligncenter" width="220" caption="Ayo, Jujur Mulai Sekarang!!"][/caption] sumber gambar dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun