Dengan kebijakan baru ini, BUMN boleh dikelola kalangan privat berbasis kontrak. Selain itu, bisnis swasta domestik kembali dibolehkan beroperasi dan investasi asing diizinkan masuk ke kawasan ekonomi khusus.
BUMN juga diizinkan menjual kelebihan kuota produksi pada dua jenis harga: harga pasar dan administered price. Kebijakan-kebijakan ini dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi yang mengatasi kelangkaan oleh kelemahan administratif dalam sistem ekonomi komando.
Untuk mendorong permintaan--juga insentif bagi produktivitas buruh--sistem upah diubah dari sebelumnya berlaku sama untuk semua jenis pekerjaan menjadi lebih fleksibel.
Pada periode kedua (1980an), Deng kian gencar dengan agenda liberalisasi ekonominya.Â
Kontrol negara terhadap perusahaan swasta kian dilonggarkan; perusahaan negara yang tidak menguntungkan diprivatisasi; dan dalam skala tertentu, Pemda diberikan otonomi untuk merencanakan dan menata perekomian dengan cara-cara baru yang bersemangat liberal.Â
Tetapi seperti halnya ekonomi komando, ekonomi pasar juga memiliki keterbatasan.
Ekonomi komando a la sosialisme terpusat rentan terhadap perilaku free rider dan karena itu meniadakan insentif bagi individu-individu untuk lebih produktif.Â
Ini faktor utama di balik kelangkaan barang-barang, selain bahwa perencanaan terpusat memang terbatas dalam membaca kondisi objektif kebutuhan rakyat.
Di sisi lain, ekonomi pasar mampu mendorong peningkatan produktivitas sehingga barang-barang tersedia tetapi sebaliknya membatasi akses rakyat oleh karena inflasi dan ketimpangan kesejahteraan. Jika dalam ekonomi komando barang-barang langka, dalam ekonomi pasar barang-barang tersedia tetapi tidak terbeli.
Dua kali inflasi sebelum 1989 (1985 dan 1988) melahirkan keraguan terhadap reformasi ekonomi. Ketimpangan melebar, harga barang-barang tak terjangkau.
Inflasi membuka kenyataan merenggangnya tingkat kesejahteraan antara rakyat dan para pejabat pemerintahan yang dihasilkan oleh liberalisasi selama satu dekade terakhir.