Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sahur "on The Road," Mengapa Memangnya?

4 Juni 2018   09:23 Diperbarui: 4 Juni 2018   10:27 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: wartakota.tribunnews.com

Di antara banyak model subkultur terkait tradisi hari raya di Indonesia,  saya belum pernah melihat langsung Sahur on the Road ini. Bahkan mendengarnya juga baru sekarang. Sepintas saya dengar itu aktivitas bagi-bagi makanan sahur di jalanan dan aktivitas itu dilarang sejumlah pemerintah daerah. Heh! Bagaimana bisa hal baik dilarang?

Sejauh penelusuran saya, belum ada artikel yang menceritakan detil sejarah Sahur on the Road. Tetapi laman tertua yang memberitakan kegiatan dengan nama Sahur on the Road adalah laman berita ""Sahur on The Road" Para Artis" di liputan6.com yang bertitimangsa 19 Nov 2003.

Disebutkan, tayangan infotainment Hot Shot menggelar "Sahur on The Road" bersama sejumlah artis. Mereka berkonvoi kendaraan dan berhenti di bawah Jembatan Stasiun Kereta Juanda, Jakarta Pusat untuk membagikan santap sahur kepada warga tak mampu di sana. Kemudian rombongan mengunjungi panti asuhan, juga untuk membagikan santap sahur dan pakaian bekas layak pakai.

Sepertinya memang acara tv  Hot Shot  ini yang mempopulerkan istilah "Sahur on the Road." Bahkan mungkin bukan sekedar istilah, acara tv itu pula yang mempelopori budaya baru ini: membagikan makanan sahur kepada orang-orang di jalan. Yang lazim aksi bagi-bagi makanan saat Ramadan dilakukan saat berbuka puasa. Sementara saat sahur dahulu orang hanya berkeliling kampung untuk membangunkan warga.

Betapa hebat peran artis dan televisi dalam mempromosikan kebiasaan baru, menjadi tren lalu budaya. Dalam waktu satu dekade, Sahur on The Road telah diambil alih, menjadi komponen subkultur komunitas-komunitas anak muda, menggabungkannya dengan budaya konvoi motor, kebut-kebutan, dan aksi mural di dinding fasum yang sudah lebih dahulu menjadi bagian dari identitas mereka.

Berbagi tentu baik adanya. Apalagi jika kebiasaan itu dijalani oleh komunitas anak muda.

Tetapi menjadi lain ceritanya ketika SOTR adalah kombinasi dua kebudayaan. Sahur dan berbagi yang indah dan religius dari kebudayaan dominan bertemu balapan liar dan konvoi motor yang menyeramkan dari  subkultur komunitas anak muda, terutama geng motor, suporter klub bola, dan fansclub artis.

Pencampuran ini menghasilkan sesatu yang baru: solidaritas dan friksi sekaligus. Saling berbagi yang berlanjut tawuran. Orang-orang mati. Ditikam, dibacok, celaka.

Ketika Ahok-Jarot melarang hal ini pada Ramadan lalu, banyak pihak menjadikannya komoditi politik. "Ahok-Jarok melakukannya karena anti-Islam," teriak politisi lawan. Tahun ini, Wagub DKI Sandiaga Uno(1) yang diharapkan membudayakan SOTR justru juga menentangnya. Sejumlah Pemda seperti Pemkot Bogor sudah dari tahun-tahun sebelumnya melarang pelaksanaan SOTR.(2)

Baiknya larang nggak sih?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun