Mohon tunggu...
Tigor Robert
Tigor Robert Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hanya Sebagian Kecil

Suka Coffee Lemon Mocktail

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Sahkan Permendikbudristek PPKS atau Tidak

14 November 2021   22:23 Diperbarui: 14 November 2021   22:34 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara tentang viktimologi, berarti bicara tentang korban. bicara tentang kekerasan seksual, berarti bicara tentang perlindungan terhadap hak korban. Bicara tentang kekerasan seksual, akhir-akhir ini banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi. contohnya seperti baru-baru ini terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Riau terhadap Mahasiswi bimbingannya saat bimbingan skripsi. ini adalah salah satu contoh dari sekian banyaknya kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. 

Dalam ilmu Viktimologi dikenal dengan namanya Tipologi korban, yaitu Biologically weak victims dan Socially weak victims. yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban dan mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah dan menyebabkan ia menjadi korban. bicara kasus di atas maka ''ketimpangan relasi kuasa terhadap korban yaitu perempuan itu ada.'' maka dari itu Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi ini hadir.

Permendikbudristek ini tidak berjalan mulus dikarenakan ada perdebatan antara pihak pro dan kontra terhadap permen ini. Perbebatan terjadi dikarenakan dari pihak kontra menggunakan statement yaitu ''Melegalkan Seks Bebas.'' Statement ini menjadi lagu lama dalam Putusan MK No 46/PUU-XIV/2016 mengenai uji materiil KUHP soal legalisasi zina dan RUU PKS, yang sekarang berganti menjadi RUU TPKS.

Kesesatan Berpikir

Pihak penolak Permen menggunakan model penalaran hukum (legal reasoning) yang sesat. Hal ini dilakukan oleh penolak Permen dalam memelintir frasa menyangkut consent yakni "tanpa persetujuan korban" terutama dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b (memperlihatkan alat kelamin), huruf l (menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, atau menggosokkan bagian tubuh), huruf m (membuka pakaian korban). Mereka kemudian berargumentasi bahwa apabila perempuan memberikan persetujuan maka tindakan tersebut menjadi diperbolehkan. Selanjutnya mereka lompat pada kesimpulan bahwa Permen ini "melegalkan", "memperbolehkan", atau pun "mengesahkan" zina karena tidak dilarang sama sekali dalam permen. Pertanyaannya, apakah ketiadaan larangan terhadap zina dalam Permen ini kemudian membuatnya menjadi diperbolehkan atau bahkan dilegalkan?

Di sinilah pentingnya kita belajar perbandingan hukum sehingga paham perbedaan antara penalaran hukum dalam tradisi common law (Anglo Saxon) dengan tradisi civil law (Eropa Kontinental). Dalam tradisi civil law, prinsipnya adalah "everything that is not permitted is prohibited" (segala perbuatan yang tidak diperbolehkan berarti menjadi perbuatan yang dilarang) sedangkan prinsip dalam tradisi common law adalah "anything that is not prohibited is permitted"  (segala perbuatan yang tidak dilarang berarti ia diperbolehkan).

Dalam perdebatan tentang Permen tersebut, karena kita menganut tradisi hukum civil law, maka apabila tidak ada larangan untuk melakukan zina bukan berarti zina itu menjadi diperbolehkan. Logika hukum yang berlaku di sini adalah tindakan tersebut masih dilarang kecuali ada perintah tegas yang memperbolehkannya. Terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut telah secara tegas dilarang dalam aturan yang lain mulai dari KUHP  hingga kode etik dosen, mahasiswa dan tenaga kependidikan. Di sini, kita hanya perlu menggunakan penafsiran sistematis -- menghubungkan satu aturan dengan aturan lain yang relevan -- karena satu aturan tidak bisa mengatur semua hal.

Narasi Pembahasan tentang perzinahan, hubungan seks di luar nikah bukanlah di permendikbud ini. permendikbud ini mengatur tentang pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan seksual di perguruan tinggi, salah kamar namanya ini.

Dengan hadirnya Permendikbud PPKS ini diharapkan menjadi Pencegahan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang ada di ruang lingkup perguruan tinggi sehingga ketimpangan relasi kuasa antar gender tidak bakal terjadi lagi dan terciptanya kepastian hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun