Persis berhenti di persimpangan traffic light. Merah dan berhenti di terik siang membakar. Satu angkutan kota stop di sisi kiri. Samping-sampingan dengan sang sopir.
Helaan detik, satu minibus penumpang di sisi kanan melaju kencang, terobos traffic light. Beruntung kendaraan lain yang sudah diberi ruang bergerak di seberang jalan tak sedang ramai. Minibus itu sukses menyeberang.
Mendadak sopir angkutan kota di samping kiri menggerutu, persisnya mencela aksi sopir minibus yang tak peduli dengan lampu merah. Dengan logat Batak kentalnya, dia mencerca aksi terobos itu.
Pria yang belakangan mengaku marga Simanungkalit, menyebut tindakan sopir minibus itu mencirikan sikap brengsek yang tak patut ditiru. Padahal, menunggu lampu merah ke lampu hijau tak lebih 5 menit. Hanya dibutuhkan kesabaran sedikit.
Pria yang sudah termasuk berumur di atas 50-an itu bilang, apa yang dilakukan sopir minibus sangat berbahaya, baik bagi minibus dan penumpangnya serta bagi pengendara lain.
Sebab bila terjadi kecelakaan, maka kerugian akan membayang di depan, rugi materi, fisik, waktu, dan efek lainnya.
"Brengsek sopir tadi itu. Lihat lah, orang lain jadi meniru," katanya, sembari menunjuk satu sepeda motor sedang menerobos lampu merah di depan kami.
Ternyata, efek lanjutannya tak cuma soal fisik kasat mata, tetapi juga berpotensi merusak hingga membahayakan kultur masyarakat.
Akan ada proses tiru-meniru bagi warga lain untuk menerobos lampu merah, menerobos aturan dan menerobos peraturan-peraturan lain.
Sikap melanggar aturan akan menular dan bisa menjadi sebuah budaya atau kultur yang mudah ditemukan, tak cuma di persimpangan lampu merah atau traffic light, tetapi juga ke ruang-ruang publik lainnya.