Mohon tunggu...
Tigaris Alifandi
Tigaris Alifandi Mohon Tunggu... Teknisi - Karyawan BUMN

Kuli penikmat ketenangan. Membaca dan menulis ditengah padatnya pekerjaan | Blog : https://tigarisme.com/ | Surel : tigarboker@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puisi "Ibu Indonesia" Isu SARA dan Pandangan Bijak

3 April 2018   18:32 Diperbarui: 3 April 2018   19:24 1052
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini media sosial, cetak dan elektronik ramai" membahas perihal Puisi Sukmawati Soekarno Putri berjudul "Ibu Indonesia" dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018.

Puisi Sukmawati dianggap mendiskreditkan agama Islam,yang isinya diantaranya dianggap membanding-bandingkan simbol budaya seperti konde dan kidung Ibu pertiwi dengan simbol dan kaidah ibadah agama Islam,yaitu cadar dan alunan Adzan. Kontroversi puisi tersebut membuat banyak pihak bereaksi di berbagai media, bahkan hingga Selasa hari artikel ini ditulis(3-4-2018) sudah ada 2 laporan masuk ke Polda Metro Jaya dengan dugaan penistaan agama dan diskriminasi isu SARA.

Politikus, Ormas, kalangan agamawan hingga berbagai tokoh masyarakat angkat bicara.Ada pro dan kontra yang muncul akibat puisi tersebut.Lalu,bagaimana kita dengan bijak menghadapi masalah "sensitif" ini? 

Perlu diketahui bahwa Sukmawati menuangkan pikiran dan gagasannya lewat puisi, dimana kita tidak bisa menafsirkan karya sastra seperti puisi dengan penafsiran yang langsung mentah.Ada berbagai diksi dan majas serta kaidah kesastraan yang digunakan.

Alhasil, ada berbagai sudut pandang dalam memahami sebuah karya sastra sehingga kita tidak bisa menghakimi dan memahami sebuah karya sastra dengan satu sudut pandang yang sempit.Seperti yang dikatakan penyair Ahda Imran dilansir dari detiknews.com .Ahda menilai memang puisi itu puisi verbal, puisi yang jelek.Tetapi lanjutnya, sebuah komunitas tidak bisa memaksakan penafsiran tunggal yang mereka yakini sebagai satu-satunya kebenaran atas sebuah puisi. 

Entah Sukmawati dengan sengaja ataupun tidak memasukkan unsur SARA yang sensitif dalam puisinya, timing dia jelas tidak tepat. Mengingat sekarang isu SARA adalah isu yang sangat sensitif bahkan bisa menimbulkan gesekan antar lapisan masyarakat. Sejak isu penistaan agama Ahok, isu SARA selalu menjadi permasalahan yang menguras energi. 

Meskipun penafsiran karya sastra membenarkan putri Bung Karno itu, tetaplah dia ter-judge salah karena kondisi sosial-politik dewasa ini. Sebagai tokoh masyarakat yang dikenal luas, seharusnya isu-isu sensitif,meskipun sepele, yang dapat menimbulkan kegaduhan harus dihindari.

Efeknya tidak hanya berimbas kepada dirinya sendiri,namun pada kehidupan masyarakat luas, terutama melalui media sosial yang telah menjadi sarana "bercengkrama secara virtual" berbagai lapisan masyarakat.Lewat media sosial berita akan sangat cepat menyebar, meskipun kebenarannya masih diragukan. Apalagi kecenderungan media akhir-akhir ini menyajikan berita yang dianggap "lebih menjual" meskipun kualitas isinya dipertanyakan, ketimbang menyajikan berita berkualitas dan bermanfaat.

Kita jangan terpancing,selalu bijak ambil sisi positif setiap hal yang dianggap kontroversial. Utamakan meninjau segalanya dengan berbagai sudut pandang, maka kita akan menjadi warganet dan masyarakat yang bijak. 

Terpenting, Jangan benturkan Agama dengan Bangsa.Negara sebagai wadah persatuan yang mengayomi dan menjamin keamanan seluruh kegiatan keagamaan,dan konstitusi kita menyatakan bahwa memeluk agama dan kepercayaan adalah hak pribadi setiap orang tanpa ada unsur paksaan. 

Tetap jaga kebhinekaan, jangan sampai kita larut ke dalam perdebatan perihal perbedaan.Jangan habiskan energi untuk isu-isu sesaat. Tantangan Bangsa dan Umat ke depan jelaslah berat. Rebut kejayaan keilmuan dan perekonomian sehingga bangsa ini akan tetap eksis, kuat,makmur dan berdaulat. Sehingga kita senantiasa tenang,tenteram dan toleran dalam menganut agama dan kepercayaan masing-masing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun