Tertarik juga untuk urun rembuk tentang hiruk-pikuk pernikahan selebritis ini. Bukan soal debatable akan kebenaran berita itu, karena terbukti banyak media yang sudah memberitakannya. Juga bukan soal agamanya, karena jelas akan ada dua kubu yang saling bertahan dengan opininya. Lagian, bagi saya, aturan pernikahan di negara Pancasila ini sudah tuntas, dan aturan itu sudah bisa diterima semua elemen bangsa. Tentu masih dipersilahkan melakukan revisi akan aturan itu, tetapi tentunya dengan prosedural dan elegan. Jika hanya opini dan pembenaran satu pihak, silahkan kuatkan saja, aturan yang berlaku yang harus jadi rujukan. Jika tidak mau, tentu hanya akan berserakan di tengah jalan.
Tertarik dengan tulisan Bung TEBE (http://jakarta.kompasiana.com/sosial-budaya/2013/11/15/rojas-rivano-jangan-main-main-dengan-agamaku--608005.html) saya memaklumi jika itu yang dirasakan oleh penulisnya. Sayapun sudah mempradugakan akan terjadi berjibun komentar pro kontra, apalagi di media yang sejenis kompasiana ini. Ruh saya mengatakan paragraf ini lebih pada permakluman akan warna opini. Dan opini, tak ubahnya bola yang masih belum bulat.
Ada fenomena sosial yang hilang dari kasus pernikahan ini, yaitu menganaktirikan “hati” yang kini dirasakan oleh mempelai perempuan! Apalagi yang mesti diperdebatkan? Aturan yang mana lagi? Jika memang menikah di KUA, jelas sudah apa agama keduanya, begitupun jika ternyata menikah di catatan sipil. Ini bukan masalah prematrunya deklarasi “muallafnya” mempelai laki-laki sehingga yang disalahkan adalah pemberitaannya. Lebih tragis lagi kalau harus dikatakan “Salahnya Asmirandah, belagu sok suci dan mau dengan lain agama…”.
Semakin terkuak sekarang, jika tidak akan ada selesainya jika suatu masalah ditarik benar salahnya, apalagi dipentalkan kemana-mana. Ujung penyelesaian akan semakin menjauh seiring arah dendang lagu yang menyanyikannya.
Ketika PKS tertimpa “daging sapi” agak maklum saya kalau sedikit diserempetkan dengan agama. Ketika “mobil murah” menjadi wacana, memang logis jika terjadi saling berargumen dan mempertahankan bahkan menjaga marwah masing-masing. Ketika kemaceten jadi topik, sangat wajar juga jika jauh pembicaraannya sampai terbawa bermimpi. Tetapi ketika kasus nikah ini diperdebatkan, sementara “hati sang wanita” ditenggelamkan, ada rasa kurang terima di dalamnya.
Fenomena ini tentu berbanding balik dengan yang selama ini disuarakan, tentang kebebasan, kesetaraan, gender, dan lainnya.
Keputusan menentukan menikah adalah fase yang berat bagi keduanya. Tidaklah sebegitu saja keduanya “ihlas” untuk membina rumah tangga. Ada kepastian, kepercayaan, diskusi-diskusi untuk menyatukan, dan bingkai hukum yang menjadi konsekwensinya.
Harusnya dihitung juga jika pihak perempuan, si mempelai wanita, Asmirandah, kini tidak dalam keenakan. Pencabutan status agama si laki-laki tidaklah terlalu pedih dirasakan. Tetapi pembalikan komitmen itulah yang mestinya difikir oleh kita semua. Kebohongan yang dirasakan Asmirandah. Ada apa?Asmirandah, si wanita, sosok yang merasakan kebohongan itu! Pertanyaannya, setujukah kita jika hal ini akan terulang dengan objek penderita sang wanita? Mana suara pekerja kesetaraan wanita itu? Mengapa tidak senyaring ketika menyuarakan kontra antipornagrafi?
Saya yakin, konten tulisan ini telah ditangkap kita semua. Bukan karena pindah agama yang saya kuatirkan, atau menurunnya nilai suatu agama (karena agama, yang menjaga langsung adalah Tuhan Sang Pencipta, apalah kita yang hanya manusia ini), bukan pula karena segaris dan segolongan. Tetapi, fakta di kasus ini, ada yang terluka di sana, yang dikoyak setelah terjadi kesepakatan dan diskusi panjang yang melelahkan, yang menimpa seorang wanita, yang kebetulan wanita itu seagama dengan saya.
Miris, karena sudut pandang pencerahan dan daya kritis telah dipaksa untuk diam….
Ternyata mahal benar harga pencerahan itu……
Wanita, juga tiga putri anakku, dan yang lainnya, apapun agamanya, jaga marwah kalian. Hati-hati dalam memilih untuk kepentingan diri. Berdo’alah, jika fenomena pernikahan ini, hiruk-pikuknya, dan simpulan akhirnya, tetap berpihak di hati kalian, para wanita…
Kertonegoro, 15 Nopember 2013
(ditulis sambil merenung jika itu terjadi di saya, di ketiga putri saya.
Dan, Na’udzubillah summa na’udzubillah…)
Gambar dari : irehkissy.blogspot.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI