Opini oleh : Tiffany Priscilya Br Surbakti
Thrifting atau berbelanja pakaian bekas saat ini sudah menjadi gaya hidup anak muda. Kegiatan ini disenangi karena pakaian yang ditawarkan jauh lebih murah, jenisnya juga unik dan tidak pasaran. Daripada membeli pakaian mahal, banyak anak muda sekarang justru bangga bisa tampil keren dengan harga terjangkau, sekaligus merasa ikut mendukung gaya hidup yang ramah lingkungan.Â
Thrifting dianggap dapat memperpanjang usia pakaian. Baju yang semestinya berakhir di tempat sampah, bisa kembali dipakai orang lain. Hal ini memang masuk akal terlebih dunia fashion memang dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar, sehingga ide thrifting ini terlihat seperti solusi.
Namun, thrifting ini bisa sangat berbahaya bila disisipi oleh banyak pakaian bekas impor. Banyak thrifting yang masuk ke Indonesia sebenarnya berasal dari merk fast fashion luar negeri. Industri fast fashion seringkali membuat baju lucu dan cepat menyesuaikan tren, tetapi seringkali menggunakan bahan murah yang mudah rusak.Â
Ketika pakaian cepat rusak, dampaknya pun besar terhadap lingkungan. Data dari PBB menyatakan bahwa industri pakaian menyumbang sekitar 10 % emisi karbon global. Â Jadi, meskipun kita memakai pakaian dari hasil thrifting, bila pakaian itu berasal dari produksi fast fashion yang buruk dari awal, kita sebenarnya tidak benar-benar mendukung gaya hidup ramah lingkungan, malah ikut terjerumus ke dalam rantai masalah itu.
Sebelum membeli pakaian bekas, ada baiknya kita berpikir dua kali. Pertama, tentu karena thrifting impor itu sendiri bisa merusak lingkungan. Menurut data KLHK tahun 2023, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil per tahun. Angka yang sangat besar ini menggambarkan cepatnya pakaian sampai di tempat pembuangan akhir. Salah satu penyebab sampah tekstil kita tinggi karena rendahnya kualitas pakaian yang antaranya merupakan produk fast fashion yang memang didesain untuk tidak tahan lama.
Dampaknya tidak hanya di lingkungan saja. Ekonomi dalam negeri juga bisa terpengaruh. Banjirnya pakaian bekas impor akan membuat produk UMKM, khususnya di bidang fashion kalah saing. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai impor pakaian bekas dan tekstil pada periode Januari–Juli 2025 mencapai 78,19 juta dolar AS, naik 17,33 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.Â
Adapun negara pemasok utamanya meliputi Tiongkok, Vietnam, Bangladesh, Taiwan, dan Singapura. Produk fashion UMKM yang dibuat dengan bahan lebih baik dan desainnya yang khas dapat kalah saing dengan pakaian bekas dari negara-negara tadi karena harga yang jauh lebih murah. Ketika pasar dibanjiri pakaian bekas impor dengan harga sangat rendah, produk lokal tentu akan tersisih. Akhirnya, masyarakat menjadi ketergantungan pada barang impor, sementara itu ekonomi lokal menjadi terguncang.Â
Fenomena thrifting ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi dapat membuka peluang bisnis dan memberikan pilihan pakaian murah bagi masyarakat. Namun, di sisi lain, thrifting dapat merusak lingkungan dan membuat industri lokal menjadi tertekan. Oleh karena itu, sekali lagi perlu bagi kita untuk menimbang ulang dalam membeli thrift impor. Jika tidak hati-hati, kegiatan yang lakukan itu akan akan justru membuat kita menjadi pelaku dalam masalah baru bagi lingkungan dan negara.Â