Mohon tunggu...
Tifani Tirza
Tifani Tirza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa semester 2 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Epistemologi Ketimpangan dan Kesetaraan Gender Melalui Perspektif Feminisme

2 Juni 2023   22:01 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:29 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Filsafat merupakan salah satu ilmu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari dan kerap menganalisis ilmu pengetahuan atau suatu peristiwa secara mendalam. Salah satu cabang ilmu dalam filsafat adalah epistemologi. Epistemologi merupakan gabungan dari dua kata, yakni episteme yang artinya pengetahuan dan logos yang artinya ilmu. Secara sederhana, epistemologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang membahas tentang pengetahuan, mulai dari asal usul pengetahuan, asumsi dasar, hingga cara memperolehnya (Adib 2010, h. 75). Dalam Hubungan Internasional, terdapat banyak teori kontemporer maupun teori alternatif yang digunakan sebagai alat untuk mengkaji suatu fenomena yang terjadi di tatanan global. Salah satu teori yang ada dalam Hubungan Internasional adalah teori feminisme. 

Epistemologi dalam filsafat dapat membantu kajian teori feminisme dari awal mula kemunculannya, asumsi dasar yang dimiliki teori feminisme, dan menyoroti bagaimana sesuatu yang dikonstruksikan oleh masyarakat tak jarang dipengaruhi oleh gender. Kajian filsafat terhadap teori feminisme dipermudah dengan era yang sudah serba digital, dimana bahan bacaan tersedia banyak di internet dan dapat diakses kapan saja dan dimana saja secara daring. Dengan kemudahan-kemudahan yang telah diberikan, kesadaran literasi masyarakat terhadap suatu pengetahuan sudah seharusnya meningkat. 

Awal Mula Kemunculan Perspektif Feminisme: Perlawanan Terhadap Ketidaksetaraan Gender

Seringkali, sesuatu yang bersifat feminitas seperti kepasifan, emosionalitas, dan kelembutan dipandang jauh lebih rendah di mata masyarakat dibandingkan sesuatu yang bersifat maskulin seperti ambisi, rasionalitas, dan kekuatan (Jackson dan Sorensen 2013, h. 422). Oleh sebab itu, isu gender menjadi hal yang menarik untuk dibahas karena stereotip masyarakat terhadap sesuatu yang bersifat feminin menyebabkan timbulnya ketimpangan terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks Hubungan Internasional, sifat-sifat maskulin seperti kemerdekaan, otonomi, serta kekuasaan diasosiasikan seperti bagaimana negara harus bertindak dalam bidang pertahanan, kepentingan nasional, dan urusan luar negerinya. Feminisme secara umum tidak selalu sama dengan feminisme dalam Hubungan Internasional, konsekuensi dari ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada politik dan tatanan global menjadi fokus kaum feminis Hubungan Internasional. 

Pada akhir tahun 1980-an, perspektif feminisme muncul dalam disiplin Hubungan Internasional (Jackson dan Sorensen 2013, h. 423 ). Pada era akhir Perang Dingin, gerakan sosial yang bersifat feminis menganggap bahwa ranah politik sejak lama telah mengabaikan gender di dalamnya. Perspektif feminisme hadir sebagai kritik terhadap pemikiran kaum realis. Salah satu contohnya adalah konsep keamanan yang diusung oleh kaum realis yang mengutamakan kepentingan keamanan negara di tengah kondisi dunia yang anarki, padahal, menurut kaum feminis HI, dalam kondisi konflik yang tengah dialami suatu negara, keamanan masyarakat termasuk perempuan ikut terancam sebagai posisi marginal dan perlu diperhatikan. Bentuk ketimpangan lainnya dapat dilihat dalam sistem perekonomian internasional. Banyak perempuan dari negara-negara kecil dan berkembang mengalami eksploitasi pekerjaan industri dengan jam kerja yang tidak sebanding dengan upah yang diterima. Politik internasional yang didominasi oleh partisipan laki-laki juga menunjukkan ketidaksetaraan yang terjadi. 

Asumsi Dasar Perspektif Feminisme 

Perspektif Feminisme terdiri atas empat asumsi dasar yang menjadi landasan pembentukan teori feminisme dalam Hubungan Internasional. Asumsi pertama adalah sifat manusia yang inkonsisten. Sifat manusia kerap berubah-ubah sesuai dengan konstruksi sosial yang dipengaruhi sosial dan budaya suatu masyarakat. Hal tersebut terlihat dari adanya stereotip yang beredar di tengah masyarakat mengenai gender. Asumsi kedua adalah adanya perbedaan yang buram antara nilai dan fakta di tengah masyarakat. Dari sudut pandang feminisme, sesuatu yang seharusnya hanya nilai yang bersifat subjektif, dapat berubah menjadi fakta apabila dinormalisasi oleh kaum-kaum dominan seperti laki-laki dengan sifat maskulinitas yang mendominasi. 

Asumsi ketiga memaparkan bahwa ada relasi antara wawasan dan kekuasaan, serta teori dan praktik dalam kehidupan. Laki-laki yang dianggap mendominasi, kuat, dan maskulin cenderung menjadi tokoh masyarakat yang lebih sering terlibat dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari teori realisme dalam Hubungan Internasional yang dikecam oleh kaum feminis karena dianggap menjunjung tinggi maskulinitas. Asumsi terakhir atau yang keempat berkaitan dengan agenda masa depan kaum feminis, yaitu, berkomitmen untuk terus menyebarkan emansipasi, pemberdayaan, dan hak-hak perempuan karena perempuan telah menjadi kaum marginal dengan membatasi keterlibatan hanya dalam ruang lingkup domestik yang sekunder (Steans et. al. 2005, h. 165). 

Peran Filsafat Ilmu dalam Meningkatkan Literasi di Era Digital

Epistemologi terhadap kajian teori feminisme dalam Hubungan Internasional mencoba memahami fenomena hubungan internasional dari sudut pandang kaum feminis dengan pengaruh pengetahuan gender dalam tatanan internasional. Dengan penerapan epistemologi feminis dalam Hubungan Internasional, kerangka analisis isu-isu gender akan semakin kritis dan luas serta mempercepat perwujudan nyata kesetaraan gender dan menghapuskan ketidaksetaraan. Pendekatan baru yang menekankan inklusivitas dan kerjasama berbagai pihak diperlukan untuk diskusi dan penyelesaian masalah gender dalam Hubungan Internasional. 

Filsafat Ilmu memegang peran penting dalam meningkatkan kemauan literasi di zaman digital. Dengan penerapan aspek epistemologi, pembaca akan jauh lebih kritis untuk mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai feminisme dari sumber-sumber yang kredibilitasnya dapat dipastikan. Berita-berita mengenai ketimpangan gender juga mudah sekali ditemukan secara daring, sehingga perlu epistemologi teori feminis agar masyarakat lebih responsif terhadap isu yang terjadi. Kombinasi antara implementasi filsafat ilmu dan kemajuan teknologi pada era saat ini akan menghasilkan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun