Perkara korupsi seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi sudah bukan menjadi sosok yang aneh bagi masyarakat Indonesia. Mengapa tidak, setiap harinya masyarakat disuguhkan dengan berita yang tidak ada habisnya tentang kasus – kasus korupsi yang terungkap atau yang masih dalam tahap pengusutan yang dilakukan oleh pejabat publik.
Namun, dibalik maraknya kasus korupsi yang sedang terjadi saat ini, ternyata lembaga pengawasan di Indonesia yaitu Badan Pemeriksa Keuangan atau yang biasa disebut BPK sering kali memberikan hasil audit Wajar Tanpa Pengecualian. Pengumuman yang begitu gencar seolah menunjukan bahwa daerah atau lembaga yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian sudah bersih dari penyimpangan dan penyelewengan. Pada kenyataannya hal tersebut tidaklah benar, seperti yang dapat kita lihat dari kasus yang terjadi belakangan ini, Kota Palembang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian oleh BPK, padahal walikotanya yaitu Romi Herton bersama-sama dengan istrinya terbukti melakukan tindakan korupsi terkait kasus pengurusan sengketa Pilkada di MK dan memberikan suap terhadap Akil Mochtar (bisa dilihat selengkapnya disini). Hal ini tentunya membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa masih bisa terdapat kasus korupsi padahal hasil audit yang dilakukan oleh BPK telah mendapatkan hasil Wajar Tanpa Pengecualian.Â
Sebenarnya persepsi orang-orang yang beranggapan bahwa predikat Wajar Tanpa Pengecualian merupakan garansi bahwa para pejabatnya bebas dari korupsi adalah salah. Jika kita mencoba memahami cara kerja BPK, tentu tidak semua kasus korupsi akan terungkap, karena sepeti yang dilansir di wikipedia BPK mempunyai tiga jenis pemeriksaan yang berbeda yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hasil opini WTP merupakan hasil dari pemeriksaan keuangan dengan hanya melihat kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang  didasarkan pada empat kriteria yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.Â
Dengan penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa BPK dalam memberikan hasil WTP hanya melihat laporan keuangan yang disajikan apakah laporan keuangan yang disajikan wajar dan telah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah atau tidak, sedangkan tidak semua kasus korupsi akan berpengaruh terhadap laporan keuangan. Contohnya adalah salah satu elemen korupsi yaitu suap yang dilakukan oleh Romi Herton. Mengapa suap tidak dapat terdeteksi oleh BPK dalam kasus tersebut? Karena dana suap yang dipakai bersumber dari kantong pribadi, jadi sama sekali tidak berpengaruh terhadap laporan keuangan Pemda Kota Palembang. Lain halnya jika dana tersebut adalah dana yang bersumber dari dana kas daerah, karena akan berpengaruh terhadap hasil laporan keuangan sehingga akan lebih mudah mendeteksinya dan akan tercermin dalam opini audit laporan keuangan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil laporan audit BPK yang menyatakan opini WTP dapat mengambarkan bahwa tidak adanya tindak kasus korupsi adalah salah, karena WTP didapatkan dari hasil pemeriksaan keuangan yang tujuannya adalah untuk mengetahui menguji kewajaran suatu laporan keuangan bukan untuk menguji apakah ada tidaknya tindak kasus korupsi. Sedangkan untuk mengetahui apakah ada tidaknya kasus korupsi memerlukan jenis pemeriksaan yang berbeda selain pemeriksaan laporan keuangan, yaitu pemeriksaan investigasi atau pemeriksaan forensik yang termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sekian informasi yang dapat saya berikan, semoga bermanfaat.