Pameran seni drawing bertajuk Masang Gambar Vol. 1 yang diselenggarakan oleh mahasiswa Pendidikan Seni Rupa UPI angkatan 2023 telah sukses mencuri perhatian publik seni Bandung. Bertempat di Gedung FPSD UPI pada tanggal 26--28 Mei 2025, pameran ini menyuguhkan karya drawing yang luar biasa untuk dinikmati para pecinta seni. Salah satu karya yang menarik perhatian adalah sebuah gambar bernuansa kelam dengan teknik charcoal dan pensil di atas kertas karya Masayu Juliasari Azahra. Dalam gambar tersebut, tampak sosok perempuan dengan mata tertutup, rambut yang seperti terombang-ambing di dalam air, dan seekor ular melilit lehernya. Sebuah visual yang tak hanya memikat secara estetika, tetapi juga menyimpan lapisan makna yang dalam dan personal.
Karya seni ini menyuguhkan potret seorang perempuan dengan ekspresi wajah yang tertutup rapat oleh mata dan mulut yang mengkerut, seolah berada dalam pusaran emosi yang mendalam. Seekor ular membelit lehernya dengan melingkar erat, memunculkan kesan cekikan simbolis yang kuat: representasi dari tekanan, beban psikologis, atau kata-kata yang menyesakkan. Rambut perempuan itu terurai liar, menyiratkan kekacauan batin yang tidak bisa lagi dikendalikan. Latar belakang yang gelap dan bertekstur kabur menambah nuansa suram dan misterius, seakan perempuan itu terperangkap dalam ruang hampa yang sunyi dan gelisah. Menariknya, bagian bawah gambar memperlihatkan sosok mulut-mulut kecil yang mengintip dari dalam air gelap. Teknik pensil dan arsir halus memperkuat kontras antara ketenangan ekspresi wajah dan kekerasan simbol ular, menyatukan perasaan pasrah dan perlawanan dalam satu bingkai visual yang menggugah. Ini bukan sekadar gambar, tetapi narasi emosional yang melibatkan penonton dalam konflik internal sang tokoh, dan membiarkan kita turut menyelam ke dalamnya.
Dalam wawancara yang saya lakukan bersama sang seniman, Masayu mengungkapkan bahwa ide dari karyanya ini berasal dari mimpi yang kerap ia alami. Bukan mimpi biasa, melainkan mimpi yang membekas dan menyimpan sensasi ketakutan, tekanan, dan ketidaknyamanan seperti merasa ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya.
Penelitian oleh Ema & Listiani (2021) memetakan bahwa intervensi seni kreatif, termasuk drawing charcoal dan mixed media, dapat efektif membantu pengelolaan tekanan emosional dan kecemasan. Pemetaan taksonomi tersebut menunjukkan bahwa seni visual sering digunakan sebagai alat terapi untuk mengekspresikan emosi terpendam dan memfasilitasi refleksi diri, sejalan dengan fungsi karya Masayu yang menjadi medium visualisasi ketakutan dan tekanan batin (Ema & Listiani, 2021). Kerangka intervensi seni ini mendukung gagasan bahwa pembuatan karya drawing bisa menjadi terapi visual yang membantu mengidentifikasi dan melepaskan beban emosi.
Ular dalam karyanya adalah simbol dari itu semua, yang bukan sekadar makhluk melata, melainkan perwujudan dari "omongan orang-orang" yang ia rasakan sering kali begitu tajam, berbisa, dan menusuk hati. Baginya, ular adalah metafora dari kata-kata yang menyakitkan, komentar yang mengganggu, dan kritik-kritik sosial yang sering tak diminta tapi tetap hadir dan melekat di pikiran. Mulut-mulut di dalam air, yang samar namun jelas, adalah simbol lain dari bisikan-bisikan eksternal yang masuk ke ruang internal dirinya, menyebabkan overthinking dan belenggu psikologis yang seolah menenggelamkan.
Masayu memvisualisasikan tekanan sosioemosionalnya dalam bentuk ular dan air yang menenggelamkan. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip art therapy yang membantu mengakses dan melepaskan emosi bawah sadar dalam bentuk simbolik melalui gambar. Art therapy atau terapi seni ekspresif telah terbukti efektif membantu remaja dan mahasiswa dalam mengelola stres dan kecemasan. Mulyawan et al. (2023) menegaskan bahwa melalui proses ekspresi kreatif, individu dapat mengeksplorasi diri, meningkatkan keterampilan coping, dan mengelola stres emosional secara lebih adaptif.
Masayu menjelaskan bahwa melalui gambar ini, ia berusaha memvisualisasikan kondisi di mana seseorang begitu terpengaruh oleh omongan orang lain hingga kehilangan kendali atas pikirannya sendiri. Gambaran perempuan yang tenggelam itu adalah representasi dirinya yang merasa sesak karena kata-kata orang lain, yang merasa seperti diserang oleh ular-ular tak kasat mata dalam bentuk komentar, sindiran, atau penilaian yang terus menghantui. Tak hanya itu, gambar tersebut juga menggambarkan sebuah kondisi psikologis yang sering kali tak terlihat: bahwa luka paling dalam tidak selalu berupa luka fisik, melainkan bisa muncul dari kata-kata yang menusuk, dari persepsi sosial, dan dari ekspektasi orang lain.
Gambaran perempuan yang tenggelam dalam air, disertai bisikan halus tapi menekan, cerminan dari overthinking dan tekanan psikologis yang tak terlihat. Aiyuda (2019) menegaskan seni sebagai medium untuk penyaluran emosi dan trauma, memperlihatkan bahwa gambar dapat menjadi ruang aman untuk memproses pengalaman dan tekanan psikologis. Lebih jauh, penggunaan metaphorik ular dan mulut-mulut samar menunjukkan orientasi Art Therapy sebagai sistem komunikatif non-verbal, di mana simbol mendalam digunakan untuk mengenali dan merefleksikan emosi kritis. Aiyuda (2019) menjelaskan Art Therapy memungkinkan individu menggunakan simbol, seperti ular, sebagai bentuk ekspresi aspek internal yang kompleks, bahkan tanpa bimbingan verbal langsung
Penelitian oleh Suroiyya & Habsy (2024) menunjukkan bahwa overthinking, ditandai oleh kecenderungan berpikir berlebihan secara repetitif tanpa solusi, sering berakar dari tekanan eksternal, seperti komentar atau penilaian sosial. Hal ini selaras dengan pengalaman Masayu, yang menyebut bahwa "omongan orang" masuk dan menyusup ke pikirannya hingga menyebabkan perasaan tercekik dan stres.
Karya ini bukan hanya sekadar ekspresi artistik, tetapi juga sebuah bentuk terapi visual dan pengungkapan emosi terdalam. Karyanya tidak hanya merepresentasikan pergulatan batin individu terhadap tekanan sosial dan luka psikis, tetapi juga mengajak kita untuk lebih peka terhadap realitas emosional yang kerap tersembunyi di balik diam dan senyum seseorang. Dalam dunia seni yang terus bergerak dinamis, karya ini menjadi salah satu penanda bahwa seni tidak melulu soal estetika, tetapi juga tentang keberanian untuk menyuarakan isi hati dan menantang narasi sosial yang menyesakkan. Pameran Masang Gambar Vol. 1 pun bukan hanya ajang unjuk keterampilan teknis, tetapi juga menjadi wadah dialog yang menyentuh dimensi psikologis dan kemanusiaan kita semua.
REFERENSI