Mohon tunggu...
Erwin Basrin
Erwin Basrin Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas dan Bekerja di Akar Foundation

Aku ini adalah seseorang yang berharap menjadi jutaan rintik hujan yang turun di sore hariā€¦.Sebuah rintik hujan yang sederhana!!!, kesederhanaannya dalam menyapa, kesederhanaannya dalam memberikan kesejukkan dan kesederhanaannya dalan memainkan denting gerimisnya..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengesahan Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang di Kabupaten Lebong

29 Mei 2017   10:45 Diperbarui: 29 Mei 2017   11:47 1783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Disusun oleh Erwin Basrin[1]

Pengakuan MHA Rejang dan Tinjauan Yuridis Pengakuan[2]

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Rejang merupakan salah satu fakta keberagaman bentuk masyarakat yang pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengakui, menghormati dan melindungi keberagaman secara ekplisit terdapat di dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika, semboyan ini menjadi pijakan dalam menyusun UUD 1945. Dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Supomo mengemukakan ā€œTentang daerah, kita telah menyetujui bentuk persatuan, unie: oleh karena itu di bawah pemerintah pusat, di bawah negara tidak ada negara lagi. Tidak ada onderstaat, akan tetapi hanya daerah-daerah, ditetapkan dalam undang-undang.ā€

Sedangkan Muhammad Yamin menyampaikan bahwa: ā€œKesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 Nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropaā€. Gagasan dari Soepomo dan Muhammad Yamin tersebut dikristalisasi Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 berbunyi: ā€œPembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewaā€. Sedangkan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 khususnya angka II menyebutkan: ā€œDalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebutā€.

Walau keberagaman MHA diakui, dihormati dan dilindungi dalam UUD 1945, namun UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa telah menegasinya dengan melakukan penyeragaman Nama, Bentuk, Susunan dan Kedudukan Pemerintah Desa. Bahwa penyeragaman itu merupakan kekeliruan serius dan berdampak sangat fatal bagi MHA (termasuk MHA Rejang) dalam segala aspek. Kekeliruan tersebut telah pula diakui oleh Negara sebagaimana tertuang dalam bagian ā€œMenimbangā€ butir 5 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan ā€œbahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu digantiā€. Kendati demikian, upaya mengoreksi kekeliruan tersebut belum serius dilakukan oleh Negara, terutama Pemerintah. Bahkan, dengan tetap menggunakan konstruksi hak menguasai negara (HMN) yang merujuk pada pasal 33 UUD 1945, negara menguasai wilayah kesatuan masyarakat hukum adat. Termasuk menggunakan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, negara mengklaim hutan adat sebagai milik negara.

Paska keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang mengoreksi UU No 41 tahun 1999, negara didesak untuk mengakui keberadaan MHA. Dalam pokok pikirannya, MK menyatakan ā€œPeraturan Daerah (Perda) merupakan pendelegasian wewenang mengatur mengenai Masyarakat Hukum Adat dari Pemerintah Pusat. Pendelegasian ini adalah upaya menjalankan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945. Pengaturan mengenai Masyarakat Hukum Adat sejatinya dilakukan dalam undang-undang, namun untuk menghindari kekosongan hukum, maka MK berpendapat bahwa pengaturan oleh Pemerintah Daerah dibenarkanā€. Oleh karena itu, upaya mengakui, menghormati dan melindungi keberadaan MHA Rejang dan hak asal-usulnya dengan menerbitkan Peraturan Daerah menjadi suatu keniscayaan untuk tidak memperpanjang masa kelam yang dialami MHA Rejang. Terutama di Kabupaten Lebong yang dikenal sebagai daerah asal-usul MHA Rejang.

Pemerintah Daerah memiliki peran sangat penting untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan ā€œPengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerahā€. Terkait pasal tersebut, dalam membuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah merupakan delegasi wewenang yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.

Konsisten dengan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 tersebut, dalam Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa ā€œPenetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten/kota merupakan urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotaā€; lalu Pasal 98 ayat (1) UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyatakan ā€œDesa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kotaā€.

Selain itu, Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat juga menyatakan ā€œGubernur dan bupati/walikota melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakathukum adatā€; dan Pasal 6 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 Tentang Hutan Hak menyatakan ā€œTerdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh pemerintah daerah melalui produk hukum daerahā€. Demikian pentingnya peran Pemerintah Daerah dan keberadaan Peraturan Daerah, maka percepatan pengakuan masyarakat hukum adat sangat bergantung pada inisiatif Pemerintah Daerah. Dalam hal ini, Kebijakan Daerah bisa lahir melalui inisiatif Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota.

Memperhatikan Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No 41 tahun 1999 bahwa Peraturan daerah disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan,serta instansi atau pihak lain yang terkait, inisiatif yang akan dilakukan Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota memerlukan dukungan pakar atau akademisi hukum, dan aspirasi masyarakat atau NGO (pihak lain yang terkait). Singkatnya, kesepahaman perlu adanya sinergisitas antara Kepala Daerah atau DPRD Kabupaten/Kota, akademisi, dan masyarakat atau NGO menjadi modal utamanya.Ā 

Sebagai Negara yang menganut tradisi Civil Law System, maka dalam membaca sistem hukum Indonesia haruslah berangkat dari hierarkhi perundang-undangan yang paling kuat yakni konstitusi yang diwujudkan dalam UUD 1945. Begitu pula dalam mengelaborasi pengaturan mengenai eksistensi masyarakat hukum adat dalam sistem politik hukum Indonesia, hal yang paling mudah adalah dengan pertama kali mengkaji pengaturannya dalam UUD 1945. Pasal 18 I UUD 1945 secara tersurat menyatakan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat berserta hak asal usulnya selama masih hidup dan tidak bertentangan dengan kebijakan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun