Mohon tunggu...
Muhammad Thomi Al Halim
Muhammad Thomi Al Halim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Creative philosopher

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kondisi Mangrove di Surabaya

7 April 2015   23:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:24 2324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 3,2 juta hektar mangrove atau hampir 21% dari total luas mangrove dunia dengan jumlah spesies mangrove yang ditemukan tidak kurang dari 75 spesies (BLH, 2012: 25). Hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh kepulauan di Indonesia di 30 provinsi yang ada. Tetapi sebagian besar terkonsentrasi di Papua, Kalimantan (Timur dan Selatan) Riau dan Sumatera Selatan.Meskipun wilayah hutan mangrove yang laus ditemukan di lima provinsi seperti tersebut di atas, namun wilayah blok mangrove yang terluas di dunia tidak terdapat di Indonesia, melainkan di hutan mangrove Sundarbans (660.000 ha) yang terletak di Teluk Bengal, Bangladesh (MIC, 2003: 3).

Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun luas total hutan mangrove yang masih ada di Indonesia belum diketahui secara pasti. Walaupun mangrove dengan mudah diidentifikasi melalui penginderaan jarak jauh, terdapat variasi yang nyata diantara data statistik yang dihimpun oleh instansi-instansi di Indonesia, misalnya yang ada di Departemen Kehutanan, dan yang ada di organisasi internasional seperti FAO berkisar antara 2,17 dan 4,25 juta hektar, namun yang pasti telah terjadi adalah penurunan areal luas hutan mangrove secara drastis di Indonesia terutama di Sumatera Bagian Timur, Sulawesi Selatan dan Jawa selama kurun waktu 20 tahun terakhir, sebagai akibat dari konservasi untuk penggunaan-penggunaan lain  (MIC, 2003: 3). Dari data terakhir yang dimiliko BLH Surabaya mengindikasikan total luas mangrove Indonesia dalam waktu dua puluh tahun terakhir telah berkurang hampir 1,1 juta hektar atau sekitar 75% akibat konversi.

Hal ini menunjukan bahwa ekosistem mangrove merupakan salah satu di antara habitat lahan basah pantai yang mengalami tekanan-tekanan pembangunan baik secara langsung maupun tidak langsung.  Dalam hal kelembagaan mangrove belum memiliki sinergisitas dan kapasistas dalam pengelolaannya sedangkan secara perundangan pengelolaan mangrove belum diimplementasikan dan diintegrasikan secara optimal (KKMTN, 2013: 5).

Selain itu masyarakat juga memiliki andil dalam rusaknya ekosistem mangrove, persepsi di kalangan masyarakat umum yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain (MIC, 2003: 7). Partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan implementasi pengelolaan ekosistem mangrove belum optimal dan sebagian besar kondisi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove tergolong miskin, sehingga memicu alih fungsi lahan dari masyarakat itu sendiri (KKMTN,2013: 5).  Sedangkan menurut Hamid (2010 :55) faktor paling penting dalam keterlibatan aktif masyarakat dalam pelestarian mangrove dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri.

Hutan mangrove di Surabaya secara umum dibagi menjadi dua yaitu Pamurbaya (Pantai Timur Surabaya) dan Panturbaya (Pantai Utara Surabaya). Pada setiap daerah hutan mangrove di kota Surabaya memiliki kondisi yang berbeda, perbedaan ini dikarenakan letak geografis serta peruntukannya yang telah di tetapkan melalaui Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya.

Pantai Timur Surabaya menurut Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota Surabaya (dalam BLH, 2012) termasuk dalam kawasan perlindungan bawahan (kawasan yang memiliki potensi untuk memperkecil atau melindungi kawasan lain dari bahaya banjir melalui peresapan air ke dalam tanah, sehingga dapat meningkatkan volume air tanah untuk melindungi ekosistem pada kawasan tersebut) yang memiliki fungsi penting dalam mencegah banjir dan bencana , terutama dalam hal resapan air.

Pamurbaya terkenal dengan Ekowisata mangrove yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 2010. Ekowisata mangrove di Surabaya terdapat dua tempat dari ekowisata mangrove di Surabaya yaitu di Wonorejo dan Gunung Anyar. Ekowisata mangrove ini dibuat sebagai upaya dari pemerintahan kota Surabaya untuk meningkatkan penggunaan lahan konservasi yang terbatas peruntukannya. Ekowisata Mangrove di Pamurbaya ini juga digunakan oleh pemerintahan kota surabaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan peningkatan ketebalan mangrove di Surabaya, hal ini seperti yang diungkapkan oleh staff BLH bahwasanya diusahakan setipa kali ada event international untuk membawa para peserta untuk melakukan seremoni penanaman mangrove di ekowisata mangrove wonorejo.

Ekowisata ini juga berhasil menarik perhatian aktvis lingkungan diluar negeri. Dilansir dalam situs berita daring seputar-indonesia.com, JICA (Japan International Cooperation Agency) memberikan apresiasi kepada pemerintahan kota Surabaya atas usahanya melakukan konservasi dengan ekowisata dengan menjadikan Ekowisata Mangrove Wonorejo sebagai percontohan kawasan konservasi mangrove dalam program Mangrove Ecosystem Conservation and Sustainable Use (MECS).

Menurut LSM Tunas Hijau dengan keberadaan Ekowisata Mangrove di Surabaya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat di Surabaya akan pentingnya mangrove. Hal ini didasarkan pengalaman LSM tunas hijau yang sudah mulai untuk menanam pohon mangrove di daerah bozem wonorejo. Ekowisata Mangrove Wonorejo memiliki pengelolaan mangrove mulai dari bibit hingga perawatan, sehingga banyak dari Ormas, Perusahaan, maupun Instansi Resmi Pemerintahan yang melakukan penanaman mangrove di Kawasana Ekowisata Mangrove.

Namun dalam perkembangannya ekowisata mangrove di Pamurbaya banyak menarik perhatian LSM lingkungan di Surabaya akan bahaya keberadaannya. Ekowisata Mangrove dianggap justru membahayakan kawasan ekosistem mangrove yang berada disana. Hal ini dikarenakan banyaknya pengunjung yang ada di sana dan merusak lingkungan, dan penanaman yang dilakukan hanya bersifat formalitas sehingga tidak ada keberlanjutan dari perawatan pohon yang sudah ditanam.

Aktifitas yang sangat padat di kawasan hutan mangrove ini membuat hewan-hewan yang berada di kawasan mangrove merasa terancam. Keanekaragaman hewan ini terlihat menurun dibandingkan dengan sebelum dijadikan kawasan ekowisata di hutan mangrove wonorejo. Faktor yang menyebabkan menurunnya hewan di kawasan tersebut dikarenakan kebisingan yang ditimbulkan aktifitas manusia di sana, kapal yang menggunakan mesin, serta wewangian yang sangat mencolok. Hal ini dapat dilihat  dari pemasukan tiket perahu dari ekowisata mangrove wonorejo, dilansir dalam situs berita daring kompas.com pemasukan tiket perahu dalam sehari dapat mencapai tiga hingga empat juta rupiah.

Kawasan Mangrove juga menjadi salah sasaran penggunaan ketika para pengunjung lebih banyak tempat ekowisata tersebut sebagai tempat untuk berpacaran dan berbuat mesum bukan untuk sarana edukasi. Dilansir dari situs resmi pemerintahan kota Surabaya, karena permasalahan tersebut kawasan ini sempat salah fokus perhatian sehingga pada tahun 2013 kawasan mangrove ini sempat ditutup selama satu minggu.

Selain itu permasalahan yang lainnya adalah kawasan pamurbaya yang memang menjadi kawasan konservasi seringkali didapati pohon mangrove yang mati dan tidak dapat berkembang. menurut para aktivis hal ini dikarenakan penanaman yang dilakukan selama ini hanyalah merupakan kegiatan yang berorientasi bisnis dan kampanye sesaat atau pencitraan. Mereka juga mengindikasikan tidak adanya keseriusan dari pemerintahan untuk menangani masalah mangrove yang ada di Surabaya ini.

Dua tahun semenjak berdirinya ekowisata mangrove wonorejo berbagai macam pihak mulai menunjukan kekecewaannya terhadap projek ini. Dilansir dari portal berita daring wartapedia.com tahun 2012 Freddy H. Istanto Direktur Surabaya Heritage Society merasa kecewa dengan projek ini, dan ketika dilakukan pemantauan masih banyak pencemaran dan kerusakan dan tidak merekomendasikan kawasan konservasi menjadi kawasan ekowisata. Hal ini juga diamini oleh sinky soewadji pengamat dan pecinta satwa di Surabaya yang mengatakan bahwasanya tidak hanya kerusakan namun kebisingan mengakibatkan banyak satwa yang lari.

Kawasan pantai timur Surabaya (Pamurbaya) yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi sendiri belum memiliki garis batas yang jelas. Hal ini diakui oleh Staff BLH bahwasanya masih susah untuk menentukan garis batas lahan konservasi mangrove yang ada di pamurbaya, hal ini mengakibatkan hak milik pribadi masyarakat kawasan mangrove dan pemerintah belum jelas. Kasus pembalakan liar oleh masyarakat sekitar di mangrove pamurbaya menjadi tidak dapat disalahkan karena bias garis batas lahan konservasi mangrove tersebut.

Kota Surabaya yang terletak di pesisirpantai utara Pulau Jawa mempunyai posisi yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan, rekreasi dan konservasi, namun pantura lebih banyak didomniasi oleh industri terutama industri bongkar muat dan peti kemas seankan kalan kecmatan pabean cantikan hingga benowo (BLH 2013:156). Di sisi lain, daerah pesisir mempunyai sisi negatif karena menjadi muara dari zat-zat buangan yang dibawa oleh aliran sungai. Zat buangan tersebut berasal dari limbah industri, limbah cair permukiman (sewage), limbah cair perkotaan (urban stormwater), pelayaran (shipping), pertanian dan perikanan budidaya. Dalam zat buangan tersebut mengandung berbagai bahan pencemar yang berupa sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals), pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen terlarut dalam air laut berkurang). Dampak yang timbul dengan dengan adanya berbagai bahan pencemaran tersebut adalah kerusakan ekosistem bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota (ikan, kerang, keong), terjadi abrasi, dan hilangnya benih bandeng dan udang. Dengan mengkaji fenomena tersebut, perlu peraturan perundangan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan mempertahankan kelestarian ekosistem perairan pesisir. Contoh peraturan tersebut adalah mewajibkan perusahaan-perusahaan penghasil limbah untuk lebih dahulu mengolah limbahnya sebelum dibuang ke saluran buangan kota yang bermuara di pesisir pantai dan laut. Masalah kerusakan daerah pesisir dan laut perlu segera ditangani, mengingat ketergantungan warga Surabaya terhadap sumber daya pesisir dan laut cukup besar untuk kelangsungan hidupnya, dimana fungsi kawasan pesisir dan laut adalah sebagai pelabuhan (transportasi), daerah rekreasi dan konservasi (BLH, 2012: 64).

Kondisi mangrove di Pantai Utara Surabaya dapat dikatakan kurang baik dibandingkan kondisi mangrove yang berada di Pamurbaya. Hal ini dikarenakan memang peruntukan kawasan ini lebig banyak digunakan untuk industri dan pelayaran. Peruntukan kawasan pantura yang tidak digunakan untuk konservasi mengakibatkan banyak terjadinya perusakan mangrove yang lebih parah, bukan hanya pencemaran bahkan hingga kasus reklamasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun