Mohon tunggu...
Tholut Hasan
Tholut Hasan Mohon Tunggu... Guru - Maaf

Maaf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kemelut Keteladanan Pendidikan dan Pendidik

7 Juni 2019   12:20 Diperbarui: 7 Juni 2019   12:24 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam satu kesempatan safari ilmiah ke Pondok Pesantren Sidogiri dalam rangka pembekalan guru tugas angkatan 1435-1436 H, saya sebagai peserta calon guru tugas waktu itu, saya cukup tertarik dengan statemen dari salah satu narasumber saat itu, Drs. M. Jailani Abdillah. Beliau menyebutkan, tidak ada murid yang tidak bisa dididik, tapi hanyalah guru yang kurang bisa mendidik.

Saya sepakat dengan Drs. M. Jailani Abdillah. Selama masih ada murid yang belum bisa membaca, menulis, berakhlakul karimah, bahkan selama masih ada yang belum bisa menunaikan kewajiban sebagai Muslim, maka selama itu pula pekerjaan guru belum selesai. Pada gilirannya guru tidak akan pernah kekurangan pekerjaan untuk mengajar, karena pintu mendidik murid akan selalu terbuka lebar, terbentang luas dan tidak akan pernah selesai selamanya.

Artinya apa? Seorang guru jika ingin muridnya berbakti, maka konsep mendidik yang dipakai adalah konsep pendidikan seutuhnya, yang menggabungkan antara ilmu dan amal, serta dilandasi dengan keikhlasan. Para guru selain mengajar, juga harus niat belajar karena Allah. Ilmu yang dipelajari haruslah disebarkan dan diajarkan. Dimana hal itu juga dilandasi dengan keikhlasan karena-Nya jua. Maka begitu konsep itu diterapkan, murid akan menjadi pelajar yang baik, berakhlak dan mendapatkan petunjuk yang benar, demikian pula adanya. Itu semua ada dalam sistem pendidikan dan guru pesantren.

Namun bagimana pun, di sini penulis tidak hendak membuat alasan, bahwa guru pesantren lebih baik daripada guru umum. Tapi yang dimaksud di sini adalah, bahwa pada prinsipnya, guru pesantren telah mendapatkan pelajaran cara mengajar dari pendahulu-pendahulunya dengan menerapkan ilmu dan amal, yang mana itu jelas berbeda dengan cara mengajar guru umum dengan mengajarkan ilmu saja tanpa amal. 

Jadi asumsi dasarnya, bahwa guru pesantren sudah paham mengenai itu semua. Dan pastinya mereka punya cara pandang berbeda tentang pendidikan kepada muridnya. Hal ini bisa kita bandingkan dengan proses pendidikan umum, barangkali termasuk sekolah Negeri Islam sekalipun. Proses pembelajaran yang diterapkan hanyalah pendalaman ilmu, sebatas tahu dan mengerti. Murid tidak dituntut untuk memakai dan mempraktekan.

Maka saat keluar dari sekolahnya, mereka hanya bisa berdalil, berdalil dan berdalil. Ketika disuruh mempraktekannya malah menghindar dan penuh alasan.

Sekali lagi, di sini penulis juga tidak berpretensi, bahwa guru umum pada sekolah negeri atau pun swasta tak memiliki keikhlasan sama sekali dalam menjalani tugasnya. Tentu saja tidak. Tentu banyak sekali guru-guru umum yang berhati ikhlas dan mulia saat mengajar. Tapi, yang penulis bicarakan disini adalah fenomena pendidikan yang berkembang saat ini, bukan soal mental individu dan isi hati setiap orang.

Malah sekarang ini, situasi diperparah adanya sekolah-sekolah kilat dengan biaya selangit, sekolah tiga bulan, langsung bisa menjadi guru profesional, misalnya. Ini merupakan asumsi, bahwa pendidikan di Indonesia dibangun untuk mencetak para guru yang bermental kuli, pokok ngajar dan tanpa tujuan untuk menghilangkan kebodohan, apalagi demi menegakkan kalimat Allah.

Kesimpulan yang dapat penulis garis bawahi disini adalah perlu adanya kerangka yang diubah, yaitu dari pendidikan berkarakter dan didukung dengan guru teladan yang tidak hanya bisa memberikan pemahaman, tapi juga berakhlak bermartabat. Perlu juga tradisi pesantren dibawa ke ruang sekolah negeri. Para pemegang kuasa pendidikan juga perlu melihat dan bertanya; Mengapa tak ada murid pesantren yang sampai berbuat biadab pada gurunya, berunjuk rasa ke kepala sekolah, atau sampai terjadi pembunuhan kepada gurunya?

Dari sini penting bagi pendidikan luar untuk mencontoh pelaksanaan pendidikan pesantren, semisal tidak bercampur antara pria dengan wanita. Murid pria dan wanita dididik oleh guru yang berjenis kelamin sama, serta mengadopsi visi misi pendidikan pesantren.

Tentu saja, bagaimanapun apa yang penulis sampaikan disini akan menjadi usulan yang menggelitik dan membuat orang lain tertawa, sebab karakter pendidikan pesantren dan pendidikan umum dari sisi guru dan konsep mengajar jauh berbeda, lalu kita akan memperlakukan keduanya secara sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun