Kata Tuhan memang menunjuk pada Tuhan kita, Ada tertinggi yang kita junjung dan kita jadikan pusat hidup. Bagi Niezsche, Tuhan tersebut tentu saja langsung menunjuk pada Tuhan kristiani yang agamanya ia kritik habis-habisan[1]. Namun perlu untuk diingat bahwa kata Tuhan disini memiliki arti yang sangat luas yakni merujuk pada apa saja yang dituhankan oleh manusia. Hal ini dikarenakan manusia merupakan binatang Pemuja.Â
Ungkapan ini dikatakan olehnya dalam La Gaya Scienza 346. Jika pujaan dalam bentuk Tuhan itu mati, manusia akan mencari pujaan-pujaan lainnya termasuk dirinya itu sendiri. Manusia butuh pujaan-pujaan itu untuk dijadikan sebagai pegangan. Kebutuhan besar manusia ini menjadi suatu krisis di zaman nietzche. Nietzsche menyebut kebutuhan besar manusia ini dengan istilah dekadensi.
Â
Konteks dari krisis di zaman Nietzsche ialah sains, ideologi, kepercayaan aneh-aneh bahkan atheisme itu sendiri. Nietzche dalam La Gaya Scienza 347 mengungkapkan ada kepercayaan baru saat ini yang disebut dengan ketidakpercayaan.Â
Ketika Tuhan mati dan tidak ada pujaan lainnya untuk dijadikan pegangan yang cukup mantap, bisa saja manusia mengimani ketidaan Tuhan. Kematian Tuhan ibarat "melepaskan bumi ini dari matahari" yang membuat "kita terperosok dalam kejatuhan tanpa henti", atau bahkan "menyasar-nyasar melewati kekosongan tanpa batas" (GS 125).[2]
Â
Kabar tentang kematian Tuhan memang dapat menjebak orang kedalam nihilisme radikal. Meng-iya-kan secara naif. Dan menjadi dasar bagi tindakan yang membolehkan segalanya atau sebaliknya, membuat orang menolak secara naif dengan mendirikan benteng-benteng kenyamanan dogmatis agama.
[3] Hal ini akan menyebabkan kita jatuh dalam suatu ilusi yang hanya akan menutupi kehendak. Namun ini bukan berarti kita harus menolak nihilisme melainkan menerimanya dan mencoba untuk menghidupinya sampai ke akar-akarnya. Menghidupi bukan berarti terlena dan larut dalam nihilisme tersebut.
Â
Orang yang berani menghidupi nihilisme ini ialah mereka yang sesungguhnya memiliki roh yang bebas dan layak disebut dengan manusia super (Ubermensch). Karena itu, bagi Nietzsche dan mereka yang memiliki roh yang bebas, kematian Tuhan membuka horizon-horizon baru, lautan terbuka sehingga "kapal-kapal kita dapat berlayar lagi, berlayar menempuh segala bahaya".[4] Manusia ditantang untuk melampaui dirinya, "melepaskan semua bentuk kepercayaan, semua keinginan akan kepastian".[5]
Â