Mohon tunggu...
Faridhian Anshari
Faridhian Anshari Mohon Tunggu... -

Seorang spectator sedari kecil yang "kebetulan" menjadikan sepakbola sebagai teman dan ramuan dalam eksperimen ajaibnya.

Selanjutnya

Tutup

Bola

GBK yang Masih (Harus) Berbenah

16 Januari 2018   23:37 Diperbarui: 17 Januari 2018   00:54 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja, Minggu, dan Hujan. Tiga hal yang seharusnya menggambarkan kenikmatan hakiki dari relaksasi yang sangat indah dikala weekend. Saya yakin sekitar 36 ribuan warga Indonesia di Jakarta juga ingin menikmati momen yang hanya dapat dirasakan satu hari dari kemungkinan 7 hari dalam seminggu. 

Namun, puluhan ribu orang yang disebutkan diatas (dan saya termasuk salah satunya) malah rela berhujan-hujanan ria, dan datang ke bilangan Senayan. Jawaban logisnya hanya satu: mereka ingin menyaksikan pertandingan sepakbola yang menampilkan Indonesia melawan Islandia (yang ketika tulisan ini dimuat, masih resmi terdaftar sebagai salah satu peserta Piala Dunia Russia 2018). Sekilas, orang awam yang tidak tau sepak bola akan mengernyitkan dahi, dan berfikir "apa sih enaknya nonton bola timnas?"

Selintas, saya bertanya kepada beberapa orang yang kemarin juga ikut berdesak-desakan di Gelora Bung Karno. Jawabannya terbagi dalam dua pilihan. Yang pertama jelas, ingin mendukung tim nasional Indonesia. Siapapun lawannya, timnas pasti bisa menang. Semangat-nya bolehlah diacungi jempol. Walaupun skor akhir berkata lain, Indonesia harus menunduk lesu karena kalah empat satu, tetapi dorongan ingin mendukung timnas menjadi motor dari kenekatan mereka melewatkan kenikmatan romantisnya hujan dikala senja pada hari minggu sambil minum coklat hangat di beranda rumah.

Jawaban lain yang berhasil saya gali adalah, rasa penasaran yang memuncak. Eits jangan salah, bukan penasaran sama permainan timnas dibawah Luis Milla (yang kemarin malam, lagi-lagi masih sering kehilangan pola dan formasi yang lebih sering terlihat bermain scramble walau sudah orang Spanyol tulen yang mengajari kita dilapangan). Namun, rasa penasaran tersebut lebih kepada keinginan untuk melihat bentuk baru stadion kebanggan Gelora Bung Karno yang selesai di renovasi semenjak start di bulan Agustus 2016. Penantian yang cukup lama.

Harapan akan stadion baru yang lebih berkelas memang benar-benar terealisasi. Sejak saya masuk, saya langsung kagum dengan kursi model Single Seat dan Flip up, yang dulu pernah saya temukan di stasion luar Indonesia. Memori kursi kayu panjang jaman dulu yang menghiasi tribun penonton, langsung terhapus dengan wujud kursi yang terlalu cantik dan mulus untuk diinjak. 

Belum lagi soal lighting yang lebih wow dan sangat gemerlap untuk dipandangi semalaman suntuk. Layar raksasa yang menjadi ciri khas stadion besar (stadion utama sebuah negara) tampil dengan keadaan yang sangat kekinian. Adanya Kiss Cam layaknya NBA di Amerika Serikat (yang kali ini menampilkan video supporter yang kakinya naik keatas bangku, hingga video sepasang kekasih yang sedang asyik bermesraan sambil ber-selfie ria) menambah lelucon tersendiri untuk penonton yang sudah duduk manis didalam stadion satu jam sebelum pertandingan berlangsung.

Dibalik segala perubahan yang bikin mata always melotot dan mulut tidak berhenti berdecak kagum, stadion GBK versi baru tetap masih menyimpan beberapa kekurangan yang saya rasa masih perlu dibenahi. Kenapa, masih perlu dibenahi? Karena memang didunia ini tidak ada yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya milik Tuhan YME semata. 

Selain filosofi dasar tersebut, saya juga merasa pihak GBK perlu memonitori kekurangan yang saya berikan ini karena kelak ketika ASIAN GAMES pada bulan Agustus mendatang (jangan lupa, ini adalah alasan utama GBK direnovasi) akan banyak datang penonton dari luar Indonesia yang tentu belum paham bahasa dan kultur bahasa Indonesia kita. Jadi, demi nama bangsa Indonesia yang harus harum dari sisi penyambutan (kali ini dalam hal stadion) lebih baik dicermati dulu kritik saya ya.

Paling pertama adalah dari posisi serta porsi parkir kendaraan. Ga masalah penonton yang datang mau bawa kendaraan roda empat atau dua, bahkan tiga sekalipun, yang penting adalah konsistensi dalam penempatan dan posisi lahan parkir. Cukup unik, ketika beberpa penonton yang datang pada pukul empat sore, berhasil memasuki lahan parkir motor dengan terburu-buru dan ada dibarisan paling pinggir  karena diteriaki "slot terakhir" oleh para panitia parkir. Namun mirisnya, ketika pertandingan usai dan penonton ingin pulang tiba-tiba lahan parkir yang awalnya sudah dilihat padat, menajdi tambah padat. Malahan tambah sumpek.

Panitia yang tadi pada pukul empat sudah menutup gerbang parkir, harusnya tetap konsisten dengan jatah parkir yang memungkinkan untuk ditampung. Jangan ketika ada penonton yang memohon atau karena desakan kekurangan lahan, maka area parkir dibuka kembali. Bayangkan, area parkir yang (misalnya) harusnya cukup untuk menampung 1000 kendaraan roda dua, tiba-tiba ketika peluit akhir malah terlihat menampung 1500 kendaraan beroda dua. 

Pergerakan untuk keluar juga menjadi sempit, karena tidak seusai dengan porsi yang seharusnya. Urusan macet mah biasa, namun soal parkiran panitia harus konsisten dengan jatah dan possibility yang sudah dipikirkan diawal. Jika kelak berhadapan dengan orang asing, konsistensi adalah kuncinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun