Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mobil, Gengsi

20 April 2014   14:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MOBIL Jaguar hitam yang teronggok persis di depan hotel berbintang di Jakarta itu, sempat membuat sepasang turis asal Jerman melongok dengan cara berjongkok. Ingin menegaskan. Bahwa mobil yang dilihatnya itu adalah benar mobil mewah dan bermerek keluaran terbaru asal Eropa.

Kami sempat bertegur sapa sebentar. Mereka berlalu ke parkiran, dan saya masuk ke dalam hotel – untuk melanjutkan acara diskusi yang kami adakan. Meninggalkan mobil yang saya naiki beberapa saat lalu, di penghujung kekuasaan Pak Harto. Dari pembicaraan singkat dengan bule itu, mereka nyaris tak percaya ketika negara sedang dilanda krisis – dollar US dari dua ribuan empat ratus nilai tukarnya dengan rupiah, melambung ke tiga belas ribu, dan ada mobil yang waktu itu jumlahnya tak ada sepuluh gelintir.

Saya tak usah menyebutkan itu mobil siapa, hehehe. Yang jelas, bukan punya saya, walau saya ikut memarkir pantat. Bahkan ketika di mobil itu membawa kami ke Bandung, sang sopir kerap dihardik majikan – notabene temanku: Ini mobil bukan untuk jalan pelan. Sang sopir bisa apa, kecuali dalam sebuah kesempatan mengeluh dengan saya: Lha, mau ngebut gimana Mas TS. Sedang jalanan Bandung, nggak kalah macet daripada Jakarta, kalau liburan begini. Kalau menyerempet? Serba salah.

Ah, saya memang penikmat mobil-mobil bagus, nyaman mendut-mendut dan semuanya bukan milik saya. Kenapa bisa? Ini karena tugas saya, dan mau tak mau berhubungan dengan “mereka”.  Meski beberapa menjadi teman, dan teman kerja. Sehingga di pertengahan delapan puluhan, sempat dengan tokoh dan sekeluarga bermobil BMW terbaru untuk sebuah acara. Termasuk numpak mobil bermerek sama lengkap dengan telepon mobile – sebelum era HP sekarang ini. Itu mobil seorang isteri menteri.Lengkap dengan telepon di mobil.

Belum lama ini, mobil Jaguar hitam disita oleh KPK. Itu mobil keluar dari garasi istri (yang menjabat sebagai walikota tetangga ibukota) seorang pengusaha yang mendekam di rutan KPK. Dan itu hanya satu di antara mobil mewah dari tujuh puluhan yang bisa membuat pemilik meratapi (nangis) kebo atas kebohongan perbuatannya. Karena mobil-mobilnya disita KPK, negara.

Kali lain, saya naik mobil mewah dengan seorang anak pemilik perusahaan besar. Ini sedang acara santai. Dan di kemacetan Jakarta, bergerak segerombolan pelajar menyetop mobil bak terbuka. Lalu mereka berloncatan. Pemandangan itu, membuat si pemilik mobil yang lulusan luar negeri ini berucap, “Itulah potret negara berkembang.”

Benar. Mungkin mirip dengan mereka yang bergelantungan di atap-atap kereta api kelas rakyat. Waktu itu, KA jurusan Tanah Abang-Rangkasbitung membuat pemandangan “biasa” dengan mereka di atap kereta, tidak seperti sekarang. Ketika belum diberlakukan larangan penumpang di atap kereta, saya naik KA kelas rakyat itu. Dan dengan sang kondektur muda, saya korek (tepatnya: wawancarai). “Penumpang yang di atas atap, sudah dikontrol punya tiket atau tidak?” Jawabannya realistis. ”Wah, saya nggak berani mengambil risiko, Pak.”

Dan Indonesia, orang-orangnya, memang penikmat mobil. Setidaknya AC Nielsen dalam surveinya pada 14 Agustus- 6 September 2013, menyebutkan indikasi tersebut. “Sebanyak 54 persen atau 272 responden pemilik mobil merupakan simbol kesuksesan. Sebaliknya, tidak memiliki mobil merupakan hal yang memalukan bagi 46 persen atau 231 responden yang tidak memiliki mobil,” catat KOMPAS, Sabtu (19/4).

Jika demikian, maka mendekati benar. Sekali lagi, teman lulusan Cornell University yang beristerikan bukan Indonesia, membenarkan hal itu. Di mana memiliki mobil bukan untuk sebuah sarana, namun lebih karena seperti apa yang tersurvei AC Nielsen di atas. Mungkin bisa disimpulkan, sebuah gengsi mesti dilambangkan dengan memiliki mobil.

Sehingga gaya hidup ini, bagian dari kemacetan ibukota.  Sebagai gambaran, panjang jalan tol dalam kota, takkan mampu memuat kuota runtungan mobil pribadi bagi yang akan beraktivitas ke tengah kota Jakarta. Jadi, nggak usah dewa, malaikat pun takkan mampu untuk mengurai kemacetan. Di mana di tengah jalan tol yang macet, masih bisa kita temukan penjaja kacang goreng, tahu kulit atawa manisan kedondong.

Inilah negeri yang sebentar lagi akan memilih Presiden ketujuh.  Duh!***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun