Untuk mengejar frasa dan rima, maka judulnya campuran bahasa Jawa, bahasa Ibu (saya). Niatnya satu, mengumpulkan teman yang ngaku suka menggoreskan pena -- eh, sekarang mencet-mencet keypad, ding -- dalam sebuah wadah.
Bayangkan betapa sulit, mestinya. Karena yang namanya penulis kan egonya rodo-rodo gimana, gitu. Ya, egonya tinggi, kerap kudengar alias sulit "diatur". Awal delapan puluhan, saya ditarik Mas Darto Singo (ayah Anggun C Sasmi). Untuk ikut Kopseni (Koperasi Seniman) di mana ada WS Rendra, Motinggo Busye, dan sederet nama besar dunia persilatan penulis. Kurang dari setahun tutup buku. Â Maka lucu saja ketika kami bertiga: Yon Bayu Wahyono, Isson Khairul dan TS, priben carane bisa berhimpun sebagai penulis.
Nama untuk wadah berhimpun berhamburan. Sampai kemudian yang kini diyakini cukup mewakili.
Dasar penulis -- dan menyatakan diri kelas kaki lima -- maka tiap ketemuan diperhitungkan soal biaya ngopi dan es teh manis wabbil khusus untuk TS (pas kan dengan singkatannya?) bergerilya di TIM (Taman Ismail Marzuki) paling klop. Karena di situlah dulu, sebelum dipermak oleh Gubernur Gila Bang Ali Sadikin, adalah Kebun Binatang -- kemudian berpindah ke Ragunan.
Maunya apa, sih?
Secara umur, kami bertiga terbilang uzur di era milenial. Maksudnya protolan atawa veteran di media mainstream. Isson sejak dua puluh tahunan di Femina Grup, Yon Bayu pemred Majalah Misteri dan TS nyantrik di Kawasan Palmerah Kompas/Gramedia, tepatnya di majalah HAI dengan komandonya Mas Wendo. Di samping nyenggol ke Bobo, Nova, tentu.
Keinginannya, apa selesai nih dengan datangnya era medos, media online bagi kami bertiga? Ternyata Yon Bayu menggeliat kayak ulet bulu. Ia membuktikan diri sebagai penulis atau sebagai blogger dengan tingkat keterbacaannya bisa dibilang nomor siji di negeri NKRI ini. Maka tak pelak, ia ditabalkan sebagai Best Opinion Kompasiana 2017. Berapa hadiahnya? Bisa untuk beli rumah baru dan wanita pendampingnya, sedang dicari.
Bla-bla dan buuuuuu ... sampailah di hari Isra Mikraj, Sabtu (14/4) ngumpul di TIM. Dan berniat untuk berhimpun secara bermartabat. Mengumpulkan ego-ego dari termasuk veteran. Sehingga anak sastrawan besar Gerson Poyk, Fanny Jonathans, Uki Bayu Sedjati, Herman Syahara. Di samping ada nama-nama yang  delapan puluhan berkibar -- seusia TS inilah berinat gabung. Nggak disebutkan dulu di sini.Â
Yon Bayu, paling muda dari kami bertiga, bisa berpidato awalnya terbata-bata namun pada paragraph berikut mendekati Bung Karno. Menggelorakan: kita bisa hidup di era, mengambil judul puisinya Afrizal Malna: Abad Berlari, sebenarnya. "Viewer itulah kekuatan kita. Makin banyak pembaca yang klik, makin hiduplah kita. Kayak Mbak Fanny, bisa tidak melulu nulis cerpen di KOMPAS Minggu. Tapi keahlian memasak. Itu bisa ...!" sengaja saya potong ujungnya. Intinya bisa hidup dari menulis di era milenial, hehehe.
"Tidak ada cara lain, kecuali berhimpun sebagai kekuatan kita mengikuti zaman," imbuh Isson yang kalau ngomong perlu sebentar memejamkan mata untuk konsentrasi.