Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Kompasianer: Asyik Membagi Kiat Nulis

15 Februari 2015   23:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:08 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Spanduk terpampang: “Menulis itu Asyik” menggantung di pintu Masjid Jami Annur, Komseko, Jalan Raya Bogor, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dengan tiga tampang Kompasianer: Rifki Feriandi, Thamrin Sonata dan Ngesti Setyo Moerni.

Shalat Isya berjamaah di Masjid Kompleks Kepolisian itu berjalan lancar, dengan Imam Masjid melafalkan secara fasih.Lalu doa ba’da Isya pun dipanjatkan, dan disambung dengan pengumuman perihal acara di Jumat (13/2) itu. Sebuah mukadimah Sang Tuan Rumah Thamrin Dahlan, Uda TD kompasianer senior yang memegang mic, sementara InFocus sudah menyorot ke layar yang dibentang di “pintu” Imam. Masih putih, “Malam ini kita kedatangan tamu hebat. Para penulis yang juga Kompasianer …. Mereka akan berbagi ilmu tentang menulis, kalian santri masjid Annur nanti bisa bertanya kepada Nara Sumber,” sapa Uda TD.

Yang yunior pun beraksi dalam Hadroh. (foto:TS)



Jreng, jreng.

Rikfi Feriandi pun tampil berdiri. “Kenapa menulis itu asyik? Karena itu sudah dibuktikan oleh para penulis ini …!” Kang Iki mulai sambil menyorotkan ke nama-nama: Andrea Hirata, Dee, Alberthine Endah sampai Pramudya Ananta Toer. “Saking terkenalnya, Pak Pram pernah dicalonkan sebagai nominator Nobel Sastra dari Indonesia,” imbuh jebolan ITB yang menyebutkan penulis terkenal dunia, Paul Coelho, JK Rowling sagala.

Bagi Rikfi yang menyebut dirinya telat menulis, praktis baru menulis menjelang usia empat puluh tahun. Itu pun karena “kecelakaan” di Australia saat hidup sendiri kaki kejepit pintu. Hah? Jadi kepepet, dong? Bisa ya. Namun ketika dipampangkan di FB dan banyak temen yang merespon, jadilah ketagihan. Berlanjut.

Padahal, akunya kemudian, menulis bisa didapatkan dari banyak hal alias dalam mencari ide. Bisa dari perjalanan pulang kantor dan perjalanan luar kota. Alias tak melulu kepepet saat di kloset. “Dan sekarang kan ada media sosial, tinggal men-upload, jadilah,” papar Kang Iki yang bisa mencatatkan ide (awal) di gadget yang dimilikinya.

Sekitar lima puluhan orang yang hadir, hampir 95 persen remaja, mahasiswa dan siswa sekolah itu manggut-manggut. Mereka senang. Ternyata nulis bisa dijadikan cara untuk narsis – yang positif. Maka giliran saya ngomong, tinggal menambahi saja. Hanya, memang yang didapukkan kepada saya “Kiat Nulis Fiksi”. Ah, ini perkara gampang-gampah susah. Kalau ingat tulisan “Mengarang Itu Gampang” nya Arswendo Atmowiloto sih, iya.

14239921461919491627
14239921461919491627

Begini kalau Bu Guru Ngesti ngomong "sampah" yang bisa ditulis untuk kebaikan lingkungan. (foto:TS)

“Sastra, dan cerpen bagian dari bentuk sastra adalah untuk penghalusan budi pekerti. Dan sebuah cerita pendek, secara umum ada sebab-akibat,” papar saya yang sebelumnya mengajukan pertanyaan beda antara Penipu dan Pengarang, dan dijawab secara telak (benar) oleh seorang mahasiswi berbaju merah tua. Bahwa penipu untuk tujuan jelek, menipu, sedangkan pengarang “menipu” tapi tidak untuk maksud jahat. Kecuali untuk menguraikan cerita yang kadang bisa “menipu” atawa mengecoh pembaca. Karena kepiawaian dalam menuliskan.

Jadi gayeng, kan?

Mengarang, perlu tokoh, alur cerita, dialog sampai kemudian terasakan sebagai kesan di endingnya. Sebab, bahasa pengarang tidak verbal dalam menarasikannya. Meski narasi lazim ditulis dengan bahasa baku, sedangkan dialog bisa menggunakan bahasa gaul, lokal dan aksen. “Inilah yang membedakan satu pengarang dengan pengarang lainnya. Ia akan kelihatan misalnya menampilkan tokoh dengan sebutan Bang, Kang, Mas, Uda, atau Bli. Begitupun dengan dialog. Akan tertebak ini cerita dari Jawa, Sunda, Padang, Aceh, Bali dan seterusnya.”

Dan siapa sangka di ujung pemaparan yang dilakukan “Tanya-jawab”, muncul pertanyaan-pertanyaan yang memberi tanda. Kalau mereka ingin menulis, setelah, misalnya mencatatkan curhatnya di kertas, buku atawa gadgetnya. Termasuk sudah menuliskan bagus menurutnya, namun kesulitan menentukan judul yang menggelitik. Agar mempenasarankan pembaca. Kebetulan ia mencupik paparan saya tentang sebuah cerita anak berjudul “Hantu Bulan Puasa”. Lalu saya mencuplik pula contoh cerpen dengan judul Bulan Tertusuk Ilalang – yang sebenarnya karya puisi D Zawawi Imron, penyair Madura. Dan sudah difilimkan oleh Garin Nugroho.

14239922632047274408
14239922632047274408

Om Gapey Sandi lagi mendokumentasikan dengan videonya (foto: TS)

Giliran Ngesti Setyo Moerni. Ia lebih mencengangkan. Karena ia bisa mengolah sampah dalam tulisan-tulisannya. Lalu pemenang beberapakali lomba nulis di Kompasiana ini – hampir selalu perihal Lingkungan yang memang dikuasainya. “Jadi adik-adik bisa nulis tentang sampah, lho,” kata Jeng Ngesti seraya berdialog dengan audience yang umumnya lebih cocok sebagai anak-anaknya.

Kiatnya? Cukup dengan mengikuti lingkungan rumah sendiri. Bagaimana memperhatikan sampah organik atau non. Sehingga ia bisa tandas menjawab penanya kebetulan seorang guru. Bagaimana jika di lingkungannya ada limbah, termasuk limbah cair.

1423992383679321909
1423992383679321909

Sudah membagi "ilmu", Kang Rifki pun membagi buku pertamanya untuk Perpustakaan Masjid Jami Annur (foto:TS)

Perbincangan yang cair, membuat malam itu ada sepuluh orang penanya dari paparan tiga Kompasianer. Mereka antusias, apalagi diberi hadiah buku. Namun yang lebih penting lagi, orang bertanya dengan “baik” adalah sebagai pribadi yang cerdas. Yang menjawab mesti “lebih” baik lagi, mestinya.

Rasanya, semua yang berlangsung di Masjid Annur yang “diimami” Uda TD itu karena sebuah arsitektur R Gapey Sandi – jagoan di Kompasiana yang menyabet berkali-kali lomba di Kompasiana. Termasuk hadiah sepuluh juta untuk lomba resensi buku seorang Bupati Malino, Kalimantan Utara. Ia pun malam itu mendokumentasikan, dan bahkan mengunggahkan ke Youtube! Mendunialah acara dari masjid di Jalan Raya Bogor itu.

Perjalanan dari Masjid Al-Muhajirin di Bukit Pamulang Indah, Tangerang Selatan dan dilanjutkan ke Masjid Annur ini adalah upaya menularkan “menata kata” bagi mereka yang mestinya memahami arti Iqro – sebagai wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. Bacalah! Karena membaca yang banyak, sebuah aktivitas aktif sebagai bekal menulis. Dan menulis, bukankah untuk merunut dan menata cara dalam kata dan teks. Sehingga berujung pada keutusan Nabi bagi umat Islam: mengutamakan menata keimanan? ***

14239924981038635709
14239924981038635709

Nggak seru kalau nggak foto Narsis rame-rame. Kena demam ala Kompasiana. (foto:TS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun