Mohon tunggu...
Thalita Umaveda Al Hayya
Thalita Umaveda Al Hayya Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga-20107030053

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga NIM 20107030053

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rekam Jejak Artidjo Alkostar, Pendekar Hukum Indonesia

1 Maret 2021   23:35 Diperbarui: 1 Maret 2021   23:46 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ahad, 28 Februari 2021, seorang ahli hukum Indonesia yang merupakan mantan Hakim Agung dan juga Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI kini berpulang menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Artidjo Alkostar, sosok yang lahir di Situbondo pada tanggal 22 Mei tahun 1949 ini menjadi duka mendalam bagi masyarakat Indonesia setelah kepergiannya. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan jika Artidjo Alkostar adalah sosok yang tak segan memberikan hukuman berat terhadap para koruptor. Tak peduli siapa orangnya atau kekuatan politiknya, Artidjo Alkostar tetap akan menjatuhi hukuman sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Sekali saja para koruptor meminta keringanan, maka hukuman justru akan ditambahkan.

Pada awalnya Artidjo Alkostar bekerja sebagai pembela hukum yang bertepat di LBH Yogyakarta. Kemudian selama 28 tahun, beliau bekerja sebagai advokat dan barulah pada tahun 2000 beliau menjabat sebagai Hakim Agung dengan kurun waktu sekitar 18 tahun lebih. Semasa menjadi Hakim Agung, Artidjo Alkostar tercatat sudah menangani sekitar 19.708 berkas perkara.

Sebagai informasi Artidjo Alkostar merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada tahun 1976, lulusan Fakultas Hukum Nortwestern University Law School Chicago tahun 2002, dan juga lulusan program Doktor (S3) ilmu Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tahun 2007.

Salah satu kasus dari sekian banyak kasus besar yang pernah ditangani oleh Artidjo Alkotsar adalah kasus korupsi Presiden Soeharto. Waktu itu Soeharto sedang sakit, sehingga Haki Syafiuddin Kartasasmita dan juga Sunu Wahadi ingin kasus tersebut dihentikan. Namun yang terjadi adalah Artidjo Alkostar justru memutuskan untuk tetap melanjutkan perkara tersebut dan juga memutuskan agar negara memberikan biaya pengobatan untuk Soeharto. Dan Soeharto pun dijadikan sebagai tahanan kota dan kemudian membebankan biaya perkara dalam sebuah tingkat pengadilan kepada negara.

Kemudian kasus kedua yang sempat menjadi perbincangan publik adalah kasus korupsi yang menjerat Angelina Sondakh. Angelina Sondakh sendiri merupakan Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berasal dari Fraksi Partai Demokrat. Angelina Sondakh dijatuhi hukuman atas kasus korupsi Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Awalnya Angelina Sondakh divonis 4 tahun 6 bulan, namun pada akhirnya Angelina Sondakh dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan juga denda senilai 500 juta rupiah. Lalu mengapa hukuman yang diberikan kepada Angelina Sondakh ini justru semakin berat? Dilansir dari laman merdeka.com, jika Angelina Sondakh aktif meminta imbalan uang kepada Mindo Rosalina Manulang sebesar 7ri nilai proyek yang disepakati yakni 5%. Angelina juga aktif dalam memprakarsai pertemuan untuk memperkenalkan Mindo kepada Haris Iskandar yang merupakan sekretaris Drijen Pendidikan Tinggi Kemendiknas. Angelina juga terungkap melakukan komunikasi dengan Mindo Rosalina Manulang selama beberapakali mengenai lanjutan juga perkembangan penggiringan anggaran juga penyerahan imbalan uang yang mencapai 12,580 miliar dan USD 2,350 juta.

Kasus besar selanjutnya adalah kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional pada tahun 2010-2012 yang dilakukan oleh Anas Urbaningrum. Pada awalnya hakim hanya akan menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda 300 juta rupiah. Kemudian majelis hakim banding memutuskan hukuman Anas menjadi 7 tahun penjara. Namun Anas justru mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Saat itu Majelis Hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar dengan tegas menolak pemohonan tersebut dan justru menjatuhinya hukuman 14 tahun penjara. Namun akhirnya hukuman tersebut berkurang enam tahun, yakni menjadi 8 tahun. Vonis tersebut dilakukan oleh hakim agung PK yang terdiri dari Sunarto yang menjabat sebagai ketua majelis dan didampingi oleh Andi Samsan dan Mohammad Askin sebagai hakim anggota.

Artidjo Alkostar memang dikenal bengis bagi para koruptor. Namun beliau merupakan hakim yang adil, terlihat dari salah satu kasus yang pernah menimpa seorang office boy bernama Hendra Saputra. Hendra sendiri adalah terdakwa kasus korupsi dalam proyek videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Artidjo memberikan putusan bebas kepada Hendra karena ternyata Hendra hanya dijadikan sebagai 'alat' yang dilakukan oleh tersangka utama yakni Riefan Avrian sebagai Direktur Utama PT Imaji Media. Dan dalam kasus tersebut Riefan mengaku menunjuk Hendra yang merupakan office boy di kantornya untuk menjadi Dirut PT Imaji Media. Hal ini membuktikan jika Artidjo tidak hanya menambahkan hukuman bagi para terdakwa namun juga memberikan keadilan hukum dengan menyesuaikan fakta yang ada.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Najwa Shihab, Artidjo Alkostar pernah mengatakan, "saya sebetulnya ingin menghukum mati para koruptor. Terus terang saya ingin." Kalimat tersebut lolos dari mulut seorang hakim yang terkenal ditakuti oleh para koruptor. Kemudian beliau menambahkan jika sayangnya secara yuridis hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan. Dikarenakan bunyi pasal kontruksi hipotetis dalam pasal itu dikaitkan dengan keadaan lain. Misalnya dapat dilakukan hukuman mati jika dilakukan dalam keadaan bencana alam atau jika korupsi tersebut dilakukan atau diulangi lagi.

Satu hal yang unik dari Artidjo Alkostar adalah beliau selalu menempelkan selembar kertas pada pintu ruangannya yang berada di gedung MA. Kertas tersebut bertuliskan, 'Tidak melayani tamu yang ingin membicarakan perkara'. Artidjo pun mengatakan jika beliau tidak pernah membicarakan perkara yang sedang ditangani dengan tamu. Beliau menambahkan jika siapa saja boleh datang, namun jika sudah mulai membicarakan mengenai perkara maka akan segera di usir.

Dan pada akhirnya saat ini kita telah kehilangan salah satu sosok yang berjasa bagi masyarakat Indonesia. Beliau kini telah dimakamkan di Kompleks Pemakaman UII, Kampus Terpadu Universitas Indonesia, Jalan Kaliurang KM. 14,5 Sleman, Yogyakarta.

Selamat jalan, pendekar hukum Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun