Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengorbanan di Buluh Awar dan Kisah Winnie the Pooh, Renungan Menyambut Paskah

18 April 2019   02:37 Diperbarui: 19 April 2019   09:41 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
J.K Wijngaarden dan keluarga (Buluh Awar, 1892) - https://karosiadi.blogspot.com

129 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 18 April 1890, kabar baik itu menjangkau orang Karo yang tinggal di Buluh Awar, sebuah desa yang secara administratif pada saat ini merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Kabar baik itu adalah terkait masuknya pemberitaan Injil kepada komunitas suku Karo yang pada masa itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme, menyembah roh-roh nenek moyang, kayu besar, batu besar dan hal-hal lainnya yang dikeramatkan.

Kabar baik itu dibawa oleh para misionaris dari Belanda. Adalah Pendeta H.C. Kruyt dan beberapa misionaris dari Minahasa, Nikolas Pontoh dan kawan-kawannya yang membawa misi ini pertama kali ke pedalaman Buluh Awar.

Memahami makna kesetiaan terhadap tanggung jawab dan panggilan, sekalipun harus menanggung penderitaan, dalam bahasa metaforis religius, seperti "memberi pipi kanan apabila ditampar pipi kiri," atau "akan ada pelangi sehabis hujan," mungkin akan terasa abstrak, hiperbolis, ironis atau sebuah pernyataan sopan-santun yang sinis.

Namun, begitulah para misionaris meninggalkan kenyamanan Eropa dan kampung halamannya memasuki pedalaman Buluh Awar yang "gelap." Pada masa awal misi ini, bahkan tidak ada seorangpun warga yang bertobat dan dibaptis, hingga Kruyt harus kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan kedokterannya.

Misi selanjutnya digantikan oleh Pendeta J.K. Wijngarden yang pada perjalanan misinya bahkan akhirnya meninggal dan dimakamkan di Buluh Awar.

Ia meninggalkan seorang istri dan seorang anak di ladang misi. Mungkin terkesan ironis dalam pandangan manusiawi, saat seorang istri harus kehilangan suami dan seorang anak harus kehilangan bapak yang sangat mereka kasihi demi sebuah panggilan kemanusiaan.

Merenungkan kenyataan kisah dari istri Wijngaarden dan anaknya yang masih kecil, saat selanjutnya mereka dipanggil kembali pulang ke Belanda dari ladang misi di pedalaman Buluhawar pada 1800-an lampau, tanpa suami, ayah dari anaknya yang dimakamkan di Buluh Awar, adalah salah satu contoh bentuk nyata yang bisa digunakan untuk belajar memahami bagaimana sebenarnya seorang manusia biasa, mampu setia sekalipun menderita.

Sekali waktu sebelum ia meninggal, Pendeta Wijngaarden pernah berpesan kepada istrinya: "Jangan kembali pulang, apa pun yang terjadi sebelum datang pengganti dari Belanda."

Saat penggantinya datang dari Belanda, Pendeta M. Joustra namanya, ia menulis sebuah lagu rohani yang dalam Bahasa Karo berjudul "Lawes me kam mejuah-juah," yang kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia bermakna "Pergilah engkau dalam Damai Sejahtera."

Lagu dari Joustra ini didedikasikan untuk mengenang pelayanan para misionaris, sekaligus sebagai doa harapan untuk mengantarkan istri mendiang Wijngaarden dan anaknya pulang kembali ke negeri Belanda.

"Lawes me kam mejuah-juah"
Dibata min m're bandu tuah
Malekat min ngasuhi kam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun