Mohon tunggu...
Teopilus Tarigan
Teopilus Tarigan Mohon Tunggu... ASN - Pegawai Negeri Sipil

Pro Deo et Patria

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Es Krim, Memaknai Kelembutan yang Beku Bersama Semangkuk Mie

24 Februari 2019   23:34 Diperbarui: 22 Maret 2019   07:48 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepulang mengikuti ibadah kebaktian Minggu pada malam hari ini, ke luar dari gedung gereja kami menyeberang jalan menuju sebuah warung kecil yang menjual nasi goreng dan miesop. Warung ini berukuran sangat kecil, hanya 1,5 meter kali 2,5 meter, berdinding papan yang di cat kapur. Pemilik warung ini, sebut saja namaya Bu Warti, adalah seorang janda berumur enam puluh tahun.

Karena saya dan istri belum makan malam, kami sepakat memesan tiga mangkuk miesop sebagai menu makan malam kali ini.

"Bu, masih ada miesop nya?" tanyaku.
"Ada pak, tapi ini tinggal cukup empat mangkuk. Tiga mangkuk mie kuning, satu mangkuk mie putih," kata Bu Warti.
"Ya, kami pesan dua mangkuk mie kuning dan satu mangkuk mie putih," jawabku.
"Sabar ya, Pak. Ini ada pesanan nasi goreng, sudah mau selesai kok," katanya.
"Oke, Bu."

Di sela-sela kami menunggu pesanan, memang ada dua tiga orang lagi setelah kami, yang memesan nasi goreng. Hanya saja Bu Warti meminta maaf, karena hari ini bahan untuk nasi gorengnya sudah habis, yang sedang dia aduk-aduk di belanga adalah porsi nasi goreng yang terakhir hari ini. Barang kali, nasi goreng adalah menu andalan di warung kecil berdinding papan milik Bu Warti ini.

Bu Warti adalah seorang perempuan asal Ponorogo Jawa Timur, tapi sejak kecil sudah tinggal menetap di Sumatera. Katanya, sejak tinggal di sini, ia hanya pernah sekali mudik ke kampung halamannya di Pulau Jawa. Suaminya sudah meninggal sejak lama. Anaknya ada delapan orang, sudah menikah semuanya. Seorang di antara anaknya, perempuan, bahkan sudah meninggal, karena kanker tiroid. Suami anaknya itu juga sudah meninggal, karena asma.

Anak dan menantunya yang sudah meninggal itu meninggalkan empat orang anak, cucu bu Warti, laki-laki semuanya. Keempat cucunya ini, dirawat dan dibesarkan sendiri oleh Bu Warti sejak kecilnya, dari penghasilan sehari-hari warungnya, yang buka setiap hari, dari pagi hari sampai tutup jam sebelas malam, setiap hari. Saya bisa membayangkan bagaimana repotnya seorang nenek umur enam puluh tahun membesarkan sendiri empat orang cucu yang semuanya laki-laki, karena saya sendiri memiliki tiga orang anak laki-laki, yang bisa membuat rumah seperti kapal pecah setiap hari.

Secara berturut-turut, cucunya yang paling tua sudah duduk di bangku SMA, yang kedua di bangku SMP, yang ketiga di bangku SD dan yang bungsu masih TK. Saat kami makan di warungnya, cucunya yang ketiga dan yang bungsu yang menemaninya berjualan.

Bu Warti dan cucunya (dokpri)
Bu Warti dan cucunya (dokpri)
"Ini ya, Pak, pesanannya," kata Bu Warti.
"Wah, rasanya pasti sedap sekali ini, Bu," kataku.
"Alah, paling juga kalau habis, itu karena Bapak lapar," katanya.
"Mana cucu nenek yang dua lagi?" tanyaku.
"Ah, biasalah pak, kalau sudah remaja, sudah lebih senang dengan temannya."
"Lagi pula, besok saya mau tutup, karena ada wirid keluarga di rumah. Jadi, tidak apalah pak, dia main sesekali dengan temannya," jawab Bu Warti.

"Oo, pantas saja itu cucu nenek sudah mengantuk, sepertinya dia sudah mau pulang ke rumah itu, karena kakaknya yang biasa bantuin Ibu," balasku sambil menyantap miesop buatannya bersama anak istri yang kelihatan lahap juga makannya. Padahal tadi sebelum ke gereja anak-anak sudah makan malam juga, hanya saya dan istri yang belum makan malam.

dokpri
dokpri
"Hehe, iya, Pak. Sudah bosan dia. Tapi alhamdulillah, Pak, ini jualan sudah habis semua. Malam ini kami bisa cepat pulang, besok kami bisa libur, ada wirid di rumah."
"Bapak baru pulang dari gereja ya?" tanyanya.
"Ya, Bu. Tadi kami belum sempat makan dari rumah. Saya bilang sama istri saya, miesop di warung ibu ini enak sekali, makanya kami makan di sini."

"Ah, Bapak ini bisa saja. Pasti karena Bapak dan Ibu lapar saja, tidak enak-enak amat, alah Pak, Pak" kata Bu Warti sambil membawa mangkok-mangkok kotor ke belakang untuk dicuci, sementara cucunya berdua duduk melamun memandang ke arah jalan raya. Warungnya yang kecil memang tidak memungkinkan kami duduk bersama di satu-satunya bangku panjang yang ada yang sudah kami kuasai berlima sekeluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun