Mohon tunggu...
Aven Jaman
Aven Jaman Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

Menjadi Berarti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terapi Plasma Sukses, Saatnya Meng(h)ajar Titi*-Titi*

28 April 2020   20:19 Diperbarui: 28 April 2020   20:30 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya rasa, tak cuma saya yang gemas dengan ulah segelintir elit pun jelata yang di tengah wabah, masih coba-coba pertontonkan kelihaiannya berakrobat konyol, bermanuver basi. Bayangkan! Kala wabah ini belum menghantam gerbang masuk negeri kemarin, ada elit yang pongah bilang virus ini tak akan bisa masuk dan bertahan di Indonesia. Karena katanya virus ini tak tahan di iklim tropis. Faktanya sudah nyaris 1000 ini yang meninggal di sini.

Pejabat yang dituntut paling depan mengentaskan wabah ini juga kemarin tega memberi award pada pasien yang sembuh saat sudah ada yang bergelimpangan meregang nyawa, dikebumikan tanpa iringan penghormatan terakhir yang layak dari segenap kerabat.

Rerata, nurani menumpul karena mungkin niatnya hendak bangun optimisme, tekan kepanikan. Faktanya, litani duka tak berhenti sampai di hari pemberian award itu terjadi. Berturutan kita simak bersama kematian demi kematian para putra/i pertiwi dari segenap penjuru.

Saat kepanikan akhirnya tak mampu ditutupi lagi oleh para elit dimaksud, berlomba dengan waktu, mereka mencari cara untuk atasi keadaan. Sayang, di era transparansi informasi saat ini, manuver dan akrobatik macam apapun kini bisa dengan mudah ditebak publik ke mana arahnya.

Maka, salah langkah bisa akibatkan sirnanya jabatan. Keliru membuat kebijakan, bisa meraibkan karir strategis. Terbayang kini bagaimana kegelisahan yang melanda mereka.

Tapi sudahlah, biarkan itu sebagai buah dari kehinaan jiwa yang melekat pada diri bersangkutan. Kita lepas sejenak para elit itu. Evaluasi juga patut kita arahkan kepada kita sendiri, jelata yang terpaksa melata di rumah aja akibat pemberlakuan PSBB.

So, sejauh mana kita taat pada anjuran untuk tetap #DiRumahSaja guna menanggung renteng tanggung jawab memutus rantai persebaran wabah?

Maka tercatat di sini sejumlah orang dan komunitas yang secara sengaja berasionalisasi membenarkan ketidaktundukannya pada anjuran. Antara lain di sini adalah kelompok penganut agama yang dengan logika sesatnya petantang-petenteng menantang virus Corona karena kata mereka Allah lebih besar dari virus. Sebuah keyakinan yang keliru dihayati.

Kelompok penganut agama seperti ini lupa bahwa bahkan lewat penyakit Allah justru menguji keimanan seseorang. Literatur dari khazanah Yahudi, Kristen dan Islam setidaknya mengonfirmasikan tentang ujian iman berupa wabah. Para nabi dan tokoh-tokoh sholeh di ketiga agama itu di zamannya mencontohkan bagaimana tetap menjadi taat kepada Allah dengan serentak menghindari wabah yang lagi menyerang.

Tapi masa kini, teladan para tokoh itu diabaikan oleh kelompok penganutnya yang bebal. Padahal, Allah toh tidak seketika menjadi kecil ketika kita menahan diri untuk tidak beribadah secara berjamaah dulu. Tapi entahlah menurut anggapan mereka.

Mungkin dulu saat masih sekolah, bila dikasih ujian oleh gurunya di sekolah, mereka abaikan saja, karena pikirnya toh guru yang memberi mereka ujian sudah tahu jawabannya apa atas soal ujian itu. Konyol memang! Tapi itulah yang dipraktekkan oleh kelompok penganut agama yang tak mampu melihat wabah sebagai salah satu mata uji iman dari Tuhan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun