Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Balada Zonasi

2 Juli 2020   09:55 Diperbarui: 2 Juli 2020   10:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Frasa zonasi pada musim PPDB tahun ini telah menjadi topik hangat di negeri ini. Hangat, karena praktik zonasi banyak diributkan, di soal dan digugat bahkan sang Menteri pun tak luput dari caci maki masyarakat.

Siapa masyarakat. Warga yang ribut ini paling banyak berasal dari para orangtua dan anak-anak yang merasa dirinya pintar dengan nilai bagus berikut setumpuk sertifikasi.

Mereka merasa dirugikan karena sudah berjuang habis-habisan untuk mengantongi nilai bagus, tapi ternyata jerih payahnya kalah dengan google maps. Karena zonasi porsi terbanyak yang diterima ditentukan oleh orbitasi, jarak rumah ke sekolah.

Sementara bagi masyarakat dengan anak-anaknya yang pas-pasan nilainya dan mungkin miskin lewat sistem zonasi ini mereka diuntungkan. Mereka berterimakasih pada pemerintah, karena negara hadir menjangkau hingga kesulitan biaya pendidikan.

Biaya pendidikan bukan an sih sumbangan pendidikan atau dulu dikenal dengan istilah uang pangkal atau uang gedung dan biaya lain, seperti dalil sumbangan, iuran, dll yang begitu bias batasannya. Di luar itu, tentunya orangtua harus menyiapkan uang transpor setiap hari maupun uang jajan buat anak-anaknya, meskipun tidak sebesar ruiah dalam ukuran orang kota.

Kita tahu, di negeri ini sudah ada KIP, BOS atau BOSDA dan sebagainya yang tujuannya sangat mulia, yakni meringankan beban hidup keluarga miskin agar anak-anaknya tetap bersekolah apalagi dropout.

Kita melihat, di sini orangtua yang nyaman dan mapan dengan prestasi anak-anaknya yang unggul atau pandai, ternyata tak berbanding lurus dengan kepintaran mereka.

Coba tengok, mereka teriak-teriak, demo, menyalahkan pemerintah bahkan menyalahkan anak-anak yang bernilai rendah. Perilaku ini justru melemehkan predikat mereka yang mengkalim "pintar," karena mereka hanya menunjukkan egoismenya sendiri-sendiri, memaksakan kehendak dan ngotot menempatkan anak-anak mereka yang pintar ini diterima di sekolah favorit (meski klaim pemerintah sekolah tersebut sudah tak ada, tapi masyarakatlah yang melabeli sekolah itu favorit atau tidak).

Parahnya lagi, orangtua dan anak-anak yang pintar ini khawatir bahkan takut anak-anaknya yang sudah pintar ini jika sekolah di desa, dekat rumah dengan kawan-kawannya yang tak pintar akan terpapar. Mereka akan menjadi malas-malasan, tak ada motivasi berprestasi atau hanya sekadar sekolah. 

Mereka takut anak-anaknya nanti tertular menjadi bodoh. Sebegitu underestimate-nya mereka terhadap kemampuan sekolah "pinggiran" dan anak-anak yang punya nilai akademik minim. Orangtua tak pernah sadar, dengan predikat anak-anaknya yang pintar itu karena juga kompetitornya ada yang punya nilai di bawahnya.

Aksi-aksi kontraproduktif di atas, disadari atau tidak disadari nampaknya juga telah memandang sebelah mata kerja keras dari para pendidik, kepala sekolah bahkan civitas akademika sekolah non favorit. Seakan sekolah itu tak punya kontribusi positif bagi negeri ini, karena orangtua hanya melihat angka-angka statistik di selembar kertas dengan kacamata kuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun