Ribut mahar sedang meruyak. Bukan sembarang mahar, tetapi ini mahar pilkada. Seseorang yang hendak maju ke gelanggang pilkada bisa memilih gratis alias independen, bisa pula melalui parpol. Untuk dicalonkan oleh parpol itu ada syaratnya, Â antara lain si calon mestilah kader partai bersangkutan dan menyetor sejumlah dana yang disebut sewa perahu.
Mengapa tidak?
Sistem politik kita sekarang ini memang mahal. Kampanye itu mahal sekali. Untuk pemasangan gambar/baliho di tepi jalan ukuran 1 x 1,5 meter diperlukan biaya sekitar Rp. 150.000.- per lembar. Jika dipasang 6.000 lembar untuk Pilgub maka diperlukan Rp.9 milyar. Belum lagi kampanye di media massa, kunjungan ke pemilih, honor timses, serangan fajar, dan seterusnya.
Dan jika parpol sudah memutuskan mengusung seseorang, maka pekerjaan itu mesti dijalankan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak semua akan berakhir di selokan. Tentunya diperlukan sokongan dana yang seolah-olah tak ada habisnya.
Jika si Calon tidak punya dana, lalu siapa yang membayar? Parpol yang membayar atau timses urunan? Memangnya kalau menang Pilkada siapa yang mau enak-enak duduk di singgasana?
Si Calon-lah yang membayar. Tak bisa tidak. Memang ada saja calon yang bokek, cuma modal dengkul, tetapi karena popularitasnya demikian hebat ada saja penyandang dana yang berani memodalinya dengan deal-deal tertentu di balik layar, yang akan dibayar dengan kebijakan tendensius setelah menang Pilkada nantinya.
Terkait dengan kasus La Nyalla Mattalitti yang keberatan dimintai dana oleh partai pengusung, ini tentu saja aneh.
Aneh, di kira si Mattaliti ini ada orang yang mau membandari dia untuk jadi gubernur. Dikiranya ia sudah memiliki popularitas yang hebat sehingga partai pun akan berlomba meminangnya....
Mestinya Partai Gerindra membuat rilis di media bahwa protes kadarnya ini merupakan keluhan burung pinggul merindukan bulan.
Ia tak punya kemampuan apa-apa.